Demikian menurut pandangan Kiai NU KH Imam Nakhai.
“Pandangan saya membolehkan wanita haid berpuaasa didasarkan pada tiga alasan: Pertama, dalam Al Qur’an tidak ada satu ayat pun yang melarang perempuan Haid untuk puasa. Ayat yang menjelaskan tentang Haid hanya menegaskan dua hal, yaitu; satu, bahwa melakukan hubungan seks dengan penetrasi (jima’) hukumnya haram, dan bahwa perempuan haid berada dalam keadaan tidak suci,” kata Kiai NU KH Imam Nakhai dalam artikel “3 Alasan Perempuan Haid Boleh Berpuasa”.
Keadaan tidak suci hanya menghalangi ibadah yang mensyaratkan suci, seperti shalat dan sejenisnya. Sementara puasa tidak disyaratkan suci, yang penting “mampu” melakukannya.
Kata Kiai Imam Nakhai, alasan kedua, perempuan yang haid lebih mirip disebut sebagai orang yang sakit (Al Qur’an menyebutnya adza). Sebagaimana penjelasan Al Qur’an bahwa orang sakit dan orang yg dalam perjalanan diberi dispensasi (rukhshah) antara menjalankan puasa atau meninggalkannya dengan mengganti di hari yang lain.
“Maka perempuan haid seharusnya juga mendapat “rukhshah” antara melakukan puasa dan tidak. Jika perempuan memilih melakukannya karena haidnya tidak mengganggu kesehatannya, maka boleh,” jelasnya.
Alasan ketiga wanita haid boleh berpuasa, kata Kiai Imam Nakhai, Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ummahatul mukminin Sayyidah A’isyah Ra, dan riwayat lainnya yang menyatakan bahwa Rasulullah hanya melarang shalat bagi perempuan Haid, dan tidak melarang puasa.
Memang ada hadist Nabi yang sepintas melarang perempuan haid berpuasa, namun hadist itu juga bisa dipahami sebaliknya. Hadist itu berbunyi: حديث معاذة: ” إنها سألت عائشة رضى الله عنها: ما بال الحائض تقضى الصوم ولا تقضى الصلاة؟ فقالت: كان يصيبنا ذلك مع رسول الله صلى الله عليه وسلم
فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة ” رواه الجماعة.( صحيح)
Mu’adzah bertanya pada Sayyidah A’isyah , bagaimana dengan keadaan perempuan Haid, mengapa ia melaksanakan puasa, tetapi tidak melaksanakan shalat? Sayyidah A’isyah menjawab, hal itu pernah terjadi pada kami di masa Rasulullah, maka kami (perempuan) di perintahkan untuk melaksanakan puasa, dan tidak diperintahkan melaksanakan shalat”.
Kata ” تقضي ” dalam hadist umumnya dimaknai “mengganti di luar waktunya”. Namun sesungguhnya sangat mungkin bermakna “melaksanakan di dalam waktunya”. Sebab kata-kata ” قضي ” di dalam Al Qur’an pada umumnya bermakna melaksanakan di dalam waktunya. Seperti ayat ” فَإِذَا قَضَیۡتُم مَّنَـٰسِكَكُمۡ فَٱذۡكُرُوا۟ ٱللَّهَ ” juga ayat ” فَإِذَا قَضَیۡتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذۡكُرُوا۟ ٱللَّهَ قِیَـٰمࣰا وَقُعُودࣰا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمۡۚ ” dan ayat ayat lainnya. Kata ” قضي ” dalam kedua ayat ini bermakna “melaksanakan ibadah sesuai dengan waktu yang ditentukan”, bukan makna mengqadha’ dalam arti mengganti.
Kata ” قضي ” dengan makna mengganti memang digunakan juga dalam hadist Nabi, namun juga digunakan untuk makna melaksanakan. Kata ” قضي ” dengan makna mengganti baru dikenal dalam mushtalahat fuqaha’. Bahkan Al Qur’an untuk menyebut mengganti dihari lain, tidak menggunakan kata “qadha”
Kalaupun kata ” قضي ” diartikan melaksanakan setelah waktunya, maka berarti karena perempuan Haid itu tidak berpuasa di waktunya. Mengapa ia tidak berpuasa? Apakah karena ia mengambil Rukhshah itu ataukah karena dilarang oleh Nabi? Dugaan kuatnya ia memilih tidak berpuasa karena ada rukhshah itu. Sebab kalau diharamkan, berarti tidak ada kewajiban, kalau tidak kewajiban mengapa harus menggantinya?
Kiai Imam Nakhai mengatakan, penafsiran terhadap ayat dan hadits Nabi tentang perempuan haid dan puasa, adalah bersifat ijtihadi, jadi kebenaran dalam masalah ini juga bersifat ijtihadi.
“Namun sudah ada ijma’ dikalangan ulama. Sekalipun teks ijma’nya berbeda. Ada yang mengatakan bahwa yang di Ijma’i adalah tidak adanya kewajiban puasa bagi haid, dan kewajiban mengganti. Dan ada yang menyatakan bahwa yang di Ijma’i adalah keharaman berpuasa bagi Haid,” pungkasnya.
Sumber: Portal-Islam