Di hadapan peserta forum Center of Southeast Asian Social Studies Universitas Gajah Mada (UGM), Haedar Nashir menyebut cap radikalisme yang selalu disematkan pada umat Islam Indonesia sudah sangat keterlaluan.
Penyematan radikalisme terhadap umat Islam di Indonesia jelas bermasalah secara akademik maupun historis.
Bukan cuma itu, Haedar Nashir mengatakan label radikalisme yang ditujukan kepada umat Islam di Indonesia menyebabkan kerja-kerja moderasi terhambat.
“Kami juga melakukan kritik, Indonesia juga overdosis ketika mengeksplor radikalisme-ekstrimisme itu pada Islam. Dan itu kekeliruan besar sebenarnya,” kata Haedar Nashir, Sabtu 1 Mei 2021, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari situs resmi Muhammadiyah.
Ketua PP Muhammadiyah itu mengatakan pihaknya menghadapi radikalisme dan ekstremisme dengan memperluas dakwah dengan penekanan sikap pertengahan atau wasathiyah dalam menjalankan Islam.
Cara yang ditempuh oleh Muhammadiyah diklaim lebih ampuh memutus mata rantai radikalisme dan ekstremisme ketimbang melabeli semua umat Islam sebagai 'radikal'.
Sayangnya, penyampaian dakwah moderasi masih minim dan begitu berat lantaran label radikalisme dan ekstremisme terus dipakai untuk menyudutkan umat Islam.
“Ketika radikalisme dan ekstrimisme hanya disematkan pada Islam, itu nanti akan kontraproduktif dan menggeneralisasi. Kami yang hadir di titik moderat itu juga berat menghadapinya,” tutur Haedar.
Haedar Nashir memandang radikalisme dan ekstremisme tidak hanya muncul di tengah-tengah umat Islam Indonesia saja.
Jika memakai kacamata yang lebih luas, gejala radikalisme nyatanya muncul di kelompok yang sangat nasionalis.
Saking nasionalisnya, mereka menganggap hal-hal yang berkaitan dengan agama sebagai sebuah ancaman terhadap eksistensi NKRI.
“Bagi sosial politik yang berdimensi nasionalisme juga ada kecenderungan radikalisme melalui ultra nasionalis, tidak suka dengan mereka yang membawa agama. Begitu mendengar agama itu alergi,” kritiknya.
Sumber: Portal-Islam