Wanheart News - Presiden Joko Widodo (Jokowi) diramal mewariskan utang lebih dari Rp10 ribu triliun atau Rp10 kuadriliun di akhir kepemimpinannya. Proyeksi itu berangkat dari posisi utang yang ditanggung negara saat ini yang mencapai Rp8.670,66 triliun, terdiri dari utang pemerintah Rp6.527 triliun per akhir April 2020 dan utang BUMN yang mencapai Rp2.24,37 triliun per kuartal IV 2020.
"Warisan utang Presiden Jokowi kepada presiden berikutnya bisa lebih dari Rp10 ribu triliun," ujar Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini dalam riset resmi.
Menanggapi proyeksi tersebut, sejumlah ekonom sepakat bahwa utang Indonesia masuk kategori gawat alias lampu kuning. Untuk itu, pemerintah perlu sangat berhati-hati dalam pengelolaan utang lantaran risiko tumpukan utang mengintai RI.
Dalam catatan CNNIndonesia.com, ada sejumlah negara yang kolaps akibat tumpukan utang. Sebut saja, Yunani, Argentina, Zimbabwe, Venezuela, dan Ekuador.
Menurut Dzulfian, sumber ancaman utang justru berasal dari utang BUMN senilai Rp2.143,37 triliun tersebut. Pasalnya, banyak perusahaan pelat merah yang kinerja keuangannya terdampak covid-19. Pada satu sisi, perusahaan pelat merah itu mengalami kerugian, di lain pihak mereka harus membayar utang-utang jatuh tempo, sehingga mereka mengalami gagal bayar utang. Contohnya, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang baru saja menunda pembayaran kupon global sukuk global.
"Kasus Garuda itu puncak gunung es, karena Garuda itu sudah gagal bayar utang, tapi BUMN-BUMN lain juga seperti itu. Bahkan BUMN karya sebelum itu sudah di-banned oleh lembaga utang lainnya karena kondisi keuangan mereka sangat parah. BUMN-BUMN lain juga seperti itu, utang bengkak sekali dan bukan hanya BUMN, perusahaan swasta nasional juga seperti itu," ujarnya.
Pada akhirnya, apabila banyak BUMN yang mengalami gagal bayar utang, maka pemerintah harus turun tangan memberikan dana talangan (bailout). Kondisi ini tentunya mengkhawatirkan di tengah APBN yang juga masih terbebani penanganan dampak pandemi covid-19.
Sebagai gambaran, penerimaan negara hanya Rp726 triliun per Mei 2021 sedangkan belanja negara mencapai Rp945 triliun. Akibatnya, terjadi defisit APBN sebesar Rp219 triliun per akhir Mei 2021.
Sementara, utang pemerintah Indonesia sebesar Rp6.418,15 triliun atau setara 40,49 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir Mei 2021.
Jumlahnya memang turun Rp109,14 triliun dalam sebulan terakhir dari Rp6.527,29 triliun atau 41,18 persen dari PDB pada akhir April 2021. Namun bila dibandingkan dengan Mei 2020, jumlah utang pemerintah melonjak Rp1.159,58 triliun dari Rp5.258,57 triliun atau 32,09 persen dari PDB.
Dzulfian menuturkan pemerintah selalu membangun narasi utang pemerintah masih dalam batas aman karena masih di bawah rasio, yakni maksimal 60 persen dari PDB. Menurutnya, pernyataan tersebut benar, namun perlu diingat adalah utang yang lebih membahayakan adalah ancaman utang dari BUMN maupun swasta karena puncak gunung es tumpukan utang sudah mulai terlihat saat ini.
"Narasi yang coba dibangun pemerintah utang kita aman tapi mereka hanya batasi analisisnya utang pemerintah saja, padahal ancaman itu yang lebih bahayakan bukan dari utang pemerintah, tapi dari utang swasta. Itu yang ditutupi pemerintah tapi yang namanya bangkai akhirnya tercium juga," ucapnya.
Utang yang dibiarkan menumpuk bisa menjadi bom waktu waktu perekonomian Indonesia. Cek ulasannya di halaman berikutnya.
Bom Waktu
Dihubungi terpisah, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan tumpukan utang jika dibiarkan bisa memicu krisis ekonomi bagi Tanah Air. Ibarat bom waktu, ia menuturkan kondisi Indonesia sudah rentan sehingga tinggal menunggu faktor pemicunya.
"Rentan sih sudah lama, tapi belum terjadi pemicu yang serius, kalau ekonomi rentan bisa bertahan sebulan, setahun, dua tahun, tiga tahun. Namun, bertahan bukan berarti dalam kondisi baik, tinggal tunggu pemicu saja seperti ekonomi AS pada 2007-2008 krisis finansial global, itu sudah akumulasi dari beberapa tahun sebelumnya, tunggu pemicu, ini juga tinggal pemicu," jelasnya.
Menurutnya, pemicu krisis ekonomi yang membayangi Indonesia adalah dari sisi moneter, yakni aliran modal asing keluar (capital outflow). Capital outflow ini disebabkan berkurangnya kepercayaan asing terhadap kondisi fiskal Indonesia, yang ditopang oleh utang.
"Ini mengakibatkan nanti bisa terjadi devisa keluar, outflow. Investor sudah tidak mau masuk dulu karena melihat fiskalnya ini dalam keadaan krisis ditopang utang menumpuk terus. Akhirnya, pertumbuhan ekonomi masuk krisis dan bahkan lebih parah karena diikuti krisis moneter dimana rupiah akan tertekan dan ekonomi tergelincir," katanya.
Selain faktor domestik, aliran modal keluar bisa dipicu oleh pulihnya perekonomian negara maju seperti AS. Kondisi ini ditandai dengan perbaikan sejumlah indikator seperti inflasi, indeks manufaktur, angka pengangguran, dan sebagainya.
Pada Mei 2021 lalu, inflasi AS menembus angka 5 persen, atau lebih tinggi dari target bank sentral AS, The Fed yakni 2 persen.
"Kalau ekonomi AS dan negara maju lain membaik, inflasi cukup tinggi sehingga quantitative easing disetop itu akan terjadi arus balik capital ke sana," jelasnya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Akhmad Akbar Susamto menambahkan risiko utang menumpuk adalah penjualan aset negara untuk menaikkan pendapatan. Dengan kenaikan pendapatan negara, maka pemerintah bisa melakukan belanja, salah satunya membayar cicilan utang.
"Kalau kemudian bisa menjual (aset) itu bisa terjadi kalau kemudian kita tidak punya uangnya. Katakanlah, situasi susah tapi harus bayar utang, dipajakin juga susah, bisa jadi ada yang dijual, tapi tentu saja itu tergantung situasinya," ujarnya.
Ia mengatakan kondisi itu pernah terjadi pada 2002 lalu ketika Indonesia melepas kepemilikan mayoritas saham PT Indosat Ooredoo Tbk, yang dulunya bernama PT Indosat Tbk.
""Dulu, Indosat ketika menjual BUMN itu memang tidak disebutkan untuk bayar utang, memang tidak secara eksplisit. Tapi, memang di APBN itu kan tidak ada namanya earmark kalau uang ini dipakai untuk apa, bayar utang atau belanja apa," ujarnya.
Saat itu, pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri membutuhkan dana untuk menutup defisit anggaran yang mencapai Rp27 triliun atau 1,6 persen dari PDB karena imbas krisis keuangan 1998. Privatisasi BUMN diharapkan bisa memberikan sedikit sumbangan untuk meringankan defisit APBN.
Prinsipnya semua pendapatan didapatkan dari APBN lalu semua pengeluaran dikeluarkan dari APBN, tapi berarti beberapa yang kita dapatkan itu adalah dari menjual BUMN kemudian diantara belanjanya adalah untuk bayar utang," jelasnya.
Sebagai gambaran, nilai Barang Milik Negara (BMN) yang merupakan aset negara mencapai Rp5.949,9 triliun pada tahun lalu. Angka itu berdasarkan audit oleh BPK RI yang menyebabkan peningkatan nilai aset tetap dalam neraca LKPP dari sebelumnya Rp1.931,1 triliun.
Namun, ia berpandangan negara tidak akan mengalami kebangkrutan akibat utang. Pasalnya, sebagian besar utang tersebut sifatnya jangka panjang sehingga Indonesia tidak mengalami gagal bayar utang.
"Utang ini sebagian besar jangka panjang, jadi tidak langsung sekarang (bayar) terus bangkrut, tidak juga," katanya.
Selain itu, mayoritas utang adalah utang pemerintah. Sementara, pemerintah punya kewenangan dan kekuasan untuk mengelola sumber daya, termasuk aset negara. Salah satunya, dengan menjual aset negara seperti yang terjadi pada Indosat.
"Dilihat dari sudut pandang pemerintah itu ada banyak hal yang bisa tanda petik digadaikan untuk tunjukkan kita tidak bangkrut," ujarnya.
Secara terpisah, Staf khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menerangkan proyeksi rasio utang publik Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Hal ini berdasarkan ramalan dari Dana Moneter Internasional (IMF).
"Proyeksi utang publik (Indonesia) rendah," ucap Yustinus dalam Diskusi MEK PP Muhammadiyah: Tafsir Keadilan dalam Rancangan Tarif PPN, kemarin.
Yustinus menjelaskan proyeksi IMF menunjukkan utang publik Indonesia naik sekitar 8 persen menjadi 38,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2020.
Namun, angka itu masih lebih rendah dibandingkan utang publik negara tetangga tahun lalu seperti Vietnam 46,6 persen dari PDB, Thailand 50,4 persen dari PDB, dan Singapura 131 persen dari PDB.
Rasio utang publik Indonesia juga di bawah China 61,7 persen dari PDB, Korea 48,4 persen dari PDB, Amerika Serikat (AS) 131 persen dari PDB, Jepang 266,2 persen dari PDB, dan Jerman 73,3 persen dari PDB.
Yustinus berharap pandemi covid-19 segera selesai. Dengan demikian, penerimaan pajak meningkat dan pengelolaan utang di Indonesia bisa semakin baik.