Wanheart News - Sebanyak 18 korban korupsi bansos bahan pokok dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) melayangkan gugatan ganti kerugian terhadap eks Menteri Sosial, Juliari Batubara ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Perwakilan Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos, Kurnia Ramadhana mengatakan, belasan korban memutuskan untuk menempuh jalur hukum lantaran permohonan yang sebelumnya diajukan, belum pernah diakomodir dalam persidangan.
"Padahal, serangkaian kesepakatan internasional serta peraturan perundang-undangan sudah menjamin hak ganti kerugian dari korban korupsi. Misalnya, Pasal 35 Konvensi PBB Melawan Korupsi yang menegaskan bahwa negara wajib untuk menjamin adanya hak mengajukan tuntutan hukum terhadap pelaku kejahatan atas kerugian untuk memperoleh kompensasi," ujar Kurnia melalui keterangan tertulis pada Senin, 21 Juni 2021.
Lebih lanjut, Kurnia menjelaskan, turunan kesepakatan itu telah pula dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Dalam hal ini, para penggugat mendalilkan kerugian langsung yang dialami tatkala proses pembagian paket bansos selama masa pandemi, di antaranya kuantitas tidak sesuai ketentuan dan kualitas sembako buruk.
"Benar saja kondisinya seperti itu, sebab, merujuk pada surat dakwaan Juliari Batubara, disampaikan bahwa ada potongan sebesar Rp 10 ribu dari total nilai paket bansos seharga Rp 300 ribu. Jadi, kausalitas dari tindakan Juliari dengan kondisi faktual yang dialami oleh para penggugat semakin tergambarkan," ucap Kurnia.
Apalagi, menurut Kurnia, dengan perkembangan penanganan perkara saat ini, indikasi Juliari melakukan perbuatan melawan hukum juga lambat laun kian tampak. Mulai dari melanggar Pasal 5 ayat (4) UU 28/1999 yang merujuk pada perbuatan Juliari saat menerima Rp 1,28 miliar dari Harry Van Sidabukke, lalu melalui Ardian mendapatkan Rp 1,95 miliar, dan setoran sejumlah penyedia paket bansos senilai Rp 29,2 miliar.
Tidak hanya itu, praktik nepotisme turut pula terlihat dilakukan oleh Juliari. Poin ini muncul dengan merujuk pada kesaksian Adi Wahyono di persidangan. Kala itu, ia mengatakan adanya pembagian jatah pengadaan bansos untuk sejumlah pihak, yaitu: Herman Herry dkk (1 juta paket), Ihsan Yunus dkk (400 ribu paket), Bina Lingkungan (300 ribu paket), dan Juliari sendiri mendapatkan jatah 200 ribu.
Pengadaan paket bansos sembako yang dilakukan oleh Kementerian Sosial rawan akan konflik kepentingan, terutama perihal rekan satu partai. Sedangkan pelanggaran hukum dalam kerangka tindak pidana korupsi dapat mengacu pada surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Dokumen hukum itu, kata Kurnia, menjelaskan bahwa Juliari didakwa dengan pasal suap (Pasal 11 atau Pasal 12 huruf b UU Tipikor) saat meminta bawahannya agar mengumpulkan fee yang ditujukan untuk kepentingan pribadi. Akan tetapi, argumentasi ini bukan hanya sekadar dugaan, melainkan telah dituangkan dalam putusan terdakwa lain, yakni Ardian Iskandar. Putusan itu menyebutkan secara klir adanya penerimaan sejumlah Rp 1,95 miliar diperoleh Juliari melalui Matheus Joko.
Adapun selain dampak yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, para penguggat juga merasakan pelanggaran atas ketentuan UUD 1945, khususnya hak masyarakat mendapatkan jaminan sosial dan jaminan hidup layak kala dihimpit situasi pandemi.
Maka dari itu, korban korupsi bansos mendesak agar segera menerima permohonan penggabungan gugatan ganti rugi yang diajukan oleh para korban korupsi bansos.
"Serta menyatakan Juliari telah melakukan perbuatan melawan hukum karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam proses pengadaan bansos sembako Kementerian Sosial," kata Kurnia.
Sumber: Tempo