Wanheart News - Sebanyak 15.725 orang meneken petisi yang keberatan atas pengurangan vonis Pinangki Sirna Malasari. Ke-15 ribu orang itu mendesak Kejaksaan Agung mengajukan kasasi.
Vonis Pinangki pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI dikurangi 6 tahun. Semula Pinangki divonis 10 tahun penjara di tingkat pertama Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pinangki pun mengajukan banding atas vonis itu dan akhirnya banding Pinangki diterima dengan hukuman berkurang menjadi 4 tahun.
Petisi online itu muncul di change.org berjudul 'Hukuman Pinangki Dipotong 6 tahun'. Petisi itu diprakarsai oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), yang hingga pukul 10.40 WIB, Jumat (18/6), petisi ini telah ditandatangani 15.725 orang.
Pada intinya, petisi online itu meminta Kejaksaan Agung segera mengajukan kasasi atas vonis majelis tingkat banding yang menurunkan hukuman Pinangki. Hal itu untuk membuka kesempatan agar Pinangki dihukum lebih berat.
Isi Petisi
Berikut ini bunyi petisi online tersebut:
Teman-teman, pasti kalian masih ingat dengan Jaksa Pinangki, dong? Beberapa bulan yang lalu, ia divonis hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta, karena terbukti melakukan tiga kejahatan sekaligus: menerima suap, permufakatan jahat, dan mencuci uang.
Tapi, beberapa hari yang lalu, hakim malah mengabulkan ajuan banding Pinangki--dan memotong hukumannya 6 tahun! Katanya sih, karena punya anak balita. Alasan yang gak masuk akal sama sekali.
Kami benar-benar merasa ini adalah keputusan yang keterlaluan dan kelewatan. Pinangki, seorang penegak hukum yang terbukti melanggar hukum, harusnya dihukum lebih berat, minimal 20 tahun... atau bahkan seumur hidup!
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ini sekaligus memperlihatkan secara jelas bahwa lembaga kekuasaan kehakiman kita gak berpihak sama sekali sama upaya memberantas korupsi.
Gimana enggak, selama tahun 2020, koruptor cuma dihukum rata-rata 3 tahun! Ada kali, orang yang kejahatannya lebih ringan, tapi dihukum lebih lama.
Oleh karena itu, ICW mau ajak teman-teman untuk bersuara lebih keras lagi. Kejaksaan Agung harus segera mengajukan kasasi untuk membuka kesempatan Pinangki dihukum lebih berat. Ketua Mahkamah Agung juga harus selektif dan mengawasi proses kasasi tersebut.
Kami yakin, kalau gak ada pengawasan, bukan gak mungkin hukuman Pinangki dikurangi kembali, dia bahkan bisa dibebaskan!
Kalau gini terus, kapan Indonesia bisa bebas dari korupsi? Koruptor dihukum cuma sebentar, dan lembaga pemberantas korupsinya digerogoti dari dalam.
Terus suarakan dan minta #HukumBeratJaksaPinangki di medsos ya, teman-teman!
Alasan Vonis Pinangki Diskon 60%
Dilansir dalam surat putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, potongan itu diberikan lantaran Pinangki dinilai menyesali perbuatannya. Selain itu, hakim menilai Pinangki adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan.
"Pinangki mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa. Oleh karena itu, ia masih dapat diharapkan akan berprilaku sebagai warga masyarakat yang baik," demikian putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta yang dilansir di website-nya, Senin (14/6).
"Bahwa Terdakwa sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan dan diperlakukan secara adil," sambung majelis.
Alasan ini pun dikritik sejumlah pihak, salah satunya Komnas Perempuan. Pertimbangan hakim terkait status Pinangki yang merupakan seorang ibu tidak bisa dijadikan untuk mengurangi hukuman Pinangki karena Komnas Perempuan menilai perbuatan Pinangki, korupsi, adalah kejahatan luar biasa.
"Mengingat kejahatan korupsi adalah kejahatan luar biasa, dan bahwa ada langkah lain yang dapat dilakukan untuk juga mengurangi dampak sosial budaya dari pemidanaan terhadap terpidana, atas putusan kasus PSM, Komnas Perempuan merekomendasikan penuntut umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi," demikian bunyi siaran pers Komnas Perempuan, Kamis (17/6).
"Komnas Perempuan menyayangkan pengurangan hukuman terhadap PSM oleh hakim banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Keputusan ini mengindikasikan adanya persoalan yang lebih mendalam dalam aspek perspektif kesetaraan dan keadilan gender dan dalam hal sistem pemidanaan secara lebih luas," sambungnya.
Terkait alasan penyunatan vonis Pinangki oleh hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta yang dikaitkan dengan alasan gender, Komnas Perempuan menyatakan adanya persoalan yang lebih mendalam dalam aspek perspektif kesetaraan dan keadilan gender dan dalam hal sistem pemidanaan secara lebih luas. Sebab, banyak juga kasus serupa tapi tidak dengan pertimbangan keadilan berdasarkan gender.
"Sampai sekarang tidak ada pedoman yang jelas yang dapat dirujuk oleh hakim dalam perumusan hukuman yang dijatuhkan itu. Akibatnya, ada disparitas yang besar dari putusan untuk tindak pidana sejenis dalam kondisi yang serupa. Kondisi ini menimbulkan kecurigaan pada akuntabilitas proses hukum yang dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan pada institusi penegak hukum," tutur Komnas Perempuan.
Ke depan, Komnas Perempuan mendorong MA menyusun pedoman bagi pertimbangan hakim terhadap faktor-faktor pemberat maupun yang meringankan hukuman. Pedoman ini terutama penting terkait faktor kondisi personal terdakwa dengan memperhatikan kerentanan-kerentanan khusus yang dihadapinya di dalam ketimpangan relasi sosial, termasuk gender.
Vonis Pinangki pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI dikurangi 6 tahun. Semula Pinangki divonis 10 tahun penjara di tingkat pertama Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pinangki pun mengajukan banding atas vonis itu dan akhirnya banding Pinangki diterima dengan hukuman berkurang menjadi 4 tahun.
Petisi online itu muncul di change.org berjudul 'Hukuman Pinangki Dipotong 6 tahun'. Petisi itu diprakarsai oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), yang hingga pukul 10.40 WIB, Jumat (18/6), petisi ini telah ditandatangani 15.725 orang.
Pada intinya, petisi online itu meminta Kejaksaan Agung segera mengajukan kasasi atas vonis majelis tingkat banding yang menurunkan hukuman Pinangki. Hal itu untuk membuka kesempatan agar Pinangki dihukum lebih berat.
Isi Petisi
Berikut ini bunyi petisi online tersebut:
Teman-teman, pasti kalian masih ingat dengan Jaksa Pinangki, dong? Beberapa bulan yang lalu, ia divonis hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta, karena terbukti melakukan tiga kejahatan sekaligus: menerima suap, permufakatan jahat, dan mencuci uang.
Tapi, beberapa hari yang lalu, hakim malah mengabulkan ajuan banding Pinangki--dan memotong hukumannya 6 tahun! Katanya sih, karena punya anak balita. Alasan yang gak masuk akal sama sekali.
Kami benar-benar merasa ini adalah keputusan yang keterlaluan dan kelewatan. Pinangki, seorang penegak hukum yang terbukti melanggar hukum, harusnya dihukum lebih berat, minimal 20 tahun... atau bahkan seumur hidup!
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ini sekaligus memperlihatkan secara jelas bahwa lembaga kekuasaan kehakiman kita gak berpihak sama sekali sama upaya memberantas korupsi.
Gimana enggak, selama tahun 2020, koruptor cuma dihukum rata-rata 3 tahun! Ada kali, orang yang kejahatannya lebih ringan, tapi dihukum lebih lama.
Oleh karena itu, ICW mau ajak teman-teman untuk bersuara lebih keras lagi. Kejaksaan Agung harus segera mengajukan kasasi untuk membuka kesempatan Pinangki dihukum lebih berat. Ketua Mahkamah Agung juga harus selektif dan mengawasi proses kasasi tersebut.
Kami yakin, kalau gak ada pengawasan, bukan gak mungkin hukuman Pinangki dikurangi kembali, dia bahkan bisa dibebaskan!
Kalau gini terus, kapan Indonesia bisa bebas dari korupsi? Koruptor dihukum cuma sebentar, dan lembaga pemberantas korupsinya digerogoti dari dalam.
Terus suarakan dan minta #HukumBeratJaksaPinangki di medsos ya, teman-teman!
Alasan Vonis Pinangki Diskon 60%
Dilansir dalam surat putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, potongan itu diberikan lantaran Pinangki dinilai menyesali perbuatannya. Selain itu, hakim menilai Pinangki adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan.
"Pinangki mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa. Oleh karena itu, ia masih dapat diharapkan akan berprilaku sebagai warga masyarakat yang baik," demikian putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta yang dilansir di website-nya, Senin (14/6).
"Bahwa Terdakwa sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan dan diperlakukan secara adil," sambung majelis.
Alasan ini pun dikritik sejumlah pihak, salah satunya Komnas Perempuan. Pertimbangan hakim terkait status Pinangki yang merupakan seorang ibu tidak bisa dijadikan untuk mengurangi hukuman Pinangki karena Komnas Perempuan menilai perbuatan Pinangki, korupsi, adalah kejahatan luar biasa.
"Mengingat kejahatan korupsi adalah kejahatan luar biasa, dan bahwa ada langkah lain yang dapat dilakukan untuk juga mengurangi dampak sosial budaya dari pemidanaan terhadap terpidana, atas putusan kasus PSM, Komnas Perempuan merekomendasikan penuntut umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi," demikian bunyi siaran pers Komnas Perempuan, Kamis (17/6).
"Komnas Perempuan menyayangkan pengurangan hukuman terhadap PSM oleh hakim banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Keputusan ini mengindikasikan adanya persoalan yang lebih mendalam dalam aspek perspektif kesetaraan dan keadilan gender dan dalam hal sistem pemidanaan secara lebih luas," sambungnya.
Terkait alasan penyunatan vonis Pinangki oleh hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta yang dikaitkan dengan alasan gender, Komnas Perempuan menyatakan adanya persoalan yang lebih mendalam dalam aspek perspektif kesetaraan dan keadilan gender dan dalam hal sistem pemidanaan secara lebih luas. Sebab, banyak juga kasus serupa tapi tidak dengan pertimbangan keadilan berdasarkan gender.
"Sampai sekarang tidak ada pedoman yang jelas yang dapat dirujuk oleh hakim dalam perumusan hukuman yang dijatuhkan itu. Akibatnya, ada disparitas yang besar dari putusan untuk tindak pidana sejenis dalam kondisi yang serupa. Kondisi ini menimbulkan kecurigaan pada akuntabilitas proses hukum yang dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan pada institusi penegak hukum," tutur Komnas Perempuan.
Ke depan, Komnas Perempuan mendorong MA menyusun pedoman bagi pertimbangan hakim terhadap faktor-faktor pemberat maupun yang meringankan hukuman. Pedoman ini terutama penting terkait faktor kondisi personal terdakwa dengan memperhatikan kerentanan-kerentanan khusus yang dihadapinya di dalam ketimpangan relasi sosial, termasuk gender.
Sumber: Detik