PARA PENIKMAT CUAN PCR
Saya 'gebuki' Presiden Jokowi hampir setiap hari dalam status Facebook, setidaknya selama pandemi Covid-19, setahun terakhir. Para pembantunya saya 'hajar' juga, terutama: Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menko Marives Luhut Pandjaitan, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Itu semua bukan asal-asalan tanpa pertimbangan. Bukan pula untuk menarik perhatian demi mendapat jabatan komisaris BUMN (seperti dituduhkan beberapa orang kepada saya). Tapi, potensi korupsi yang bercorak oligarki politik, adalah alasan utama yang membuat saya mual. Dan si 'orang baik' membiarkan!
Terima kasih Majalah Tempo Edisi 30 Oktober 2021, yang secara khusus menulis artikel "Kongsi Pencari Rezeki". "Sejumlah laboratorium tes PCR dimiliki politikus dan konglomerat. Meraup untung saat pandemi Covid-19," demikian mystery nya.
Gunakan akal sehat. Seorang Menko Marives merangkap jabatan sebagai Koordinator PPKM. Dia pucuk pimpinan dalam hal kebijakan Covid-19 dan investasi. Lalu, seorang Menteri BUMN merangkap Ketua Tim Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Menteri Kesehatannya bekas Wakil Menteri BUMN.
Tapi, menteri itu ternyata terafiliasi (ada kaitannya) dengan PT Genomik Solidaritas Indonesia. Unit usaha PT itu adalah GSI Lab yang jualan segala jenis tes Covid-19: PCR Swab Sameday (275 ribu), Swab Antigen (95 ribu), PCR Kumur (495 ribu), S-RBD Quantitative Antibody (249 ribu).
Dalam situs resminya, GSI Lab mengklaim memiliki 1.000+ klien korporat, melaksanakan 700.000+ tes, menyalurkan 5.000+ tes free, dan donasi complete Rp4,4 miliar.
Dia yang membuat kebijakan sebagai pemerintah, dia juga yang jualan barangnya!
Saya pegang salinan Akta PT Genomik Solidaritas Indonesia No. 23 tanggal 30 September 2021. Notarisnya berkedudukan di Kabupaten Bekasi. PT itu dibuat April 2020, sebulan setelah kasus Covid-19 pertama di Indonesia.
Modular dasar: Rp4 miliar (1 juta/lembar saham, 4.000 saham);
Modular disetor: Rp2,96 miliar (1 juta/lembar saham, 2.969 saham).
Komposisi pemegang saham:
- Yayasa Indika Untuk Indonesia (932 lembar)
- Yayasan Adaro Bangun Negeri (485 lembar)
- Yayasan Northstar Bhakti Persada (242 lembar)
- PT Anarya Kreasi Nusantara (242 lembar)
- PT Modal Ventura YCAB (242 lembar)
- PT Perdana Multi Kasih (242 lembar)
- PT Toba Bumi Energi (242 lembar)
- PT Toba Sejahtra (242 lembar)
- PT Kartika Bina Medikatama (100 lembar).
PT Toba Bumi Energi dan PT Toba
Sejahtra adalah entitas anak PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA). Luhut pernah mengakui ia memiliki 'sedikit' saham di situ. Ia adalah pendiri grup tersebut.
Yayasan Adaro Bangun Negeri berkaitan dengan PT Adaro Energy Tbk (ADRO). Presdirnya adalah Boy Thohir, kakak Erick Thohir, sekaligus pemegang 6,18% saham.
Yayasan Indika Untuk Indonesia berkaitan dengan PT Indika Energy Tbk (INDY). Arsjad Rasjid, Ketum KADIN, adalah Dirutnya.
Dirut PT Genomik Solidaritas Indonesia adalah Anindya Pradipta Susanto, dokter dari FKUI.
Komisaris Utama adalah Retina Rosabai, Direktur INDY (Laporan tahunan 2020).
Yayasan Northstar Bhakti Persada berkaitan dengan Northstar Group. Digawangi oleh Patrick Walujo, bankir investasi yang juga menantu TP. Rachmat (bersama Glenn Sugita menjadi pembina yayasan). Ia juga menjadi pemegang saham Gojek-Tokopedia (Go-To). Emiten yang dia genggam antara lain PT Blue Bird Tbk (BIRD), PT Bank Jago Tbk (ARTO), PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT), PT Centratama Telekomunikasi Indonesia Tbk (CENT), dan PT Trimegah Sekuritas Indonesia Tbk (TRIM).
Itu semua jelas bisnis. Badan hukumnya saja PT. Tujuan PT adalah laba!
Ingat, bukan masalah orang dilarang berbisnis tapi lihat dulu posisi siapa yang berbisnis. Sangat tidak bermoral menjadikan jabatan publik sebagai pintu masuk untuk berbisnis memanfaatkan masa pandemi yang menyusahkan rakyat. Saya tidak peduli Indonesia menjadi pemimpin G-20 atau prestasi apapun juga. Bisnis tes PCR ini adalah skandal yang bagai kotoran dilemparkan ke wajah pemerintahan Jokowi. Bau dan memalukan!
Jika dirunut ke belakang joke, berkaitan dengan pembentukan kebijakan mengenai penggunaan keuangan negara, ada semacam 'petunjuk' bahwa regulasi tentang pandemi cenderung dibuat berdasarkan pertimbangan bisnis sekelompok orang dan dikunci dengan aturan "bukan merupakan kerugian negara".
"Dengan demikian, secara a contrario meskipun penggunaan biaya dari keuangan negara untuk kepentingan penanganan pandemi Covid-19 dilakukan tidak dengan iktikad baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka terhadap pelaku yang melakukan penyalahgunaan kewenangan dimaksud tidak dapat dilakukan tuntutan pidana sebab telah terkunci dengan adanya frasa "bukan merupakan kerugian negara" sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020," demikian pertimbangan hukum MK dalam putusan uji materiil Perppu Covid-19 (Hlm. 413).
Untung saja MK melakukan putusan tepat dengan membatalkan pasal itu sehingga siapa saja penyelenggara negara tidak lagi mendapatkan impunitas (kekebalan) berdalih masa pandemi ketika menggunakan keuangan negara.
Secara praktis politik, DPR seharusnya bersuara dan menggunakan wewenang pengawasannya untuk 'mengadili' Jokowi. Tapi apa mau, mengingat dominasi merah dkk di parlemen?
Menyeretnya menjadi perkara hukum, sepanjang presidennya masih Jokowi, sangatlah sulit. Apalagi pasca-revisi UU KPK yang menempatkan KPK sebagai rumpun kekuasaan eksekutif. KPK menjadi tumpul dan kegiatannya berubah menjadi sekadar klub sepeda di sela rapat di lodging bintang lima.
Kita hela nafas sejenak. Sabar dan tenang.
Kita pikirkan bagaimana caranya konsolidasi kekuatan moral masyarakat membendung 'kuasa-kuasa jahat' yang bersembunyi di balik "wajah-wajah baik" itu.
Salam
(Agustinus Edy Kristianto)