Indonesia Tanah Air Siapa?
Oleh: Yusuf Blegur*
AIR beli, tanah beli, pekerjaan juga beli. Rakyat juga harus membeli kesehatan dan pendidikan. kontitusi joke juga harus dibeli. Bahkan aparat juga bisa dibeli. Jangan-jangan akan ada saatnya rakyat harus membeli sekadar untuk tidur dan mimpinya.
Kalau semua yang ada di negeri ini harus dibeli, lantas apa yang free dan bisa dimiliki rakyat? Sementara sejauh ini, semua yang dibeli rakyat itu kini dikuasai dan dimiliki segelintir orang, perusahaan dan pejabat-pejabat tertentu. Sebenarnya Indonesia itu punya siapa? Punya rakyat atau oligarki?
Masa-masa perjuangan pergerakan hingga mencapai kemerdekaan RI harus dibayar dengan cucuran keringat dan darah. Bahkan tidak terhitung nyawa harus dikorbankan. Semua pemberian rakyat yang tak bisa dinilai dan digantikan dengan uang dan materi apapun.
Rakyat bersama para pemimpin-pemimpin kebangsaan mengobarkan perang suci yang menggetarkan langit dan bumi. Bukan hanya pekik merdeka, hidup mulia atau mati syahid. Takbir Allahu Akbar menggema di seantero nusantara, tatkala keyakinan menyatu dengan nasionalisme dan patriotisme untuk melenyapkan penjajahan.
Ada semangat spiritualitas dan trasedental yang menyelimuti perjuangan dan pengorbanan rakyat saat itu. Mungkin yang demikian itu sesungguhnya menjadi kekuatan. Saat logika dan rasionalitas tak mampu menghadapi kedigdayaan kolonialisme dan imperialisme.
Perlawanan terhadap penjajahan yang dilandasi karena mengharapkan keridhoan Allah aza wa jalla. Memiliki kesadaran dan keinsyafan pada amar maruf nahi munkar, telah menjadikan keadaan rakyat yang serba terbatas dan kekurangan itu. Mampu melahirkan negara Indonesia yang merdeka. Betapa sejarah negeri ini memang tidak bisa dipisahkan dengan peran penting Islam, meskipun sistem politiknya memisah relasi agama dan negara.
Pasca itu, setelah 76 tahun melewati masa kegelapan. Selama hayat masih dikandung badan, selama itu pula rakyat hidup terjajah meskipun dalam alam kemerdekaan. Apa yang telah dikorbankan rakyat bersama para pendahulunya, nyaris tak bermakna dan meninggalkan kegetiran. Warisan kemerdekaan Indonesia tidak sepenuhnya bisa dinikmati rakyat dan generasi penerusnya.
Tak ada lagi jembatan emas yang mampu menyeberangi suatu tempat bagi rakyat merasakan kemakmuran dan keadilan. Negara merdeka yang ada sekarang tak ubahnya jurang curam dan dalam bagi ketertindasan dan penderitaan rakyat. Hidup dalam kemiskinan dan kebodohan.
Seiring itu, kekayaan alam yang hakikatnya milik rakyat telah dirampas oleh negara asing dan sebagian kecil bangsanya sendiri. Tak cukup sampai disitu, para pemimpin yang berpakaian pejabat dan politisi telah mewujud sebagai komprador bagi kepentingan kekuasaan nekolim. Bersama negara asing, kelompok non state dan korporasi transnasional. Indonesia kembali memasuki fase penjajahan klasik di period present day.
Republik Renta dan uzur
Perlahan dan terus masif mengalami kemunduran dan keterbelakangan. Negeri ini hanya bisa menampilkan mayoritas distorsi. Dilingkupi kejahatan dan kebiadaban lainnya baik secara kualitas maupun kuantitas. Indonesia seperti sedang mengalami kesengsaraan hidup rakyatnya yang hampir sempurna.
Bukan hanya demokrasi yang mengusung rakyat sebagai pemilik kebebasan dan kedaulatan. Semua yang menjadi hak dan kewajiban rakyat juga mengalami disfungsi. Rakyat tak pernah berhenti sejenak sekalipun dari korban eksploitasi rezim. Setap waktu dipaksa untuk menerima dan pasrah dari pelbagai 'maltreatment of force'.
Bukan hanya konstitusi dan pelbagai turunannya yang mengalami rekayasa dan sabotase. Kekuasaan juga membenturkan agama dengan radikalisme dan fundamentalisme negara. Demi kepentingan materialistik, rezim telah membuat Islam berhadap-hadapan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Lewat kamuflase dan manipulasi, kekuasaan rajin menstigma jahat, politik identitas, gerakan membangun demokrasi dan semua kekuatan perubahan lainnya. Rezim telah menciptakan konflik agama dan konflik kebangsaan. Beretorika dan menggiring kebijakan negara hostile to khilafah, populisme Islam dan nilai-nilai moral lainnya. Namun sejatinya rezim pemerintahan ini menjadi budak yang faithful bagi kapitalisme dan komunisme worldwide.
Dengan upaya yang terukur, sistematik dan terorganisir untuk membangun marginalisasi dan deislamsasi. Sesungguhnya pemerintahan mencoba memisahkan negara dengan rakyatnya. Bukan hanya sekulerisasi dan liberalisasi agama. Kekuasaan juga terang-terangan merampas dan merampok segala milik rakyat yang ada pada negara. "Bumi dan air dan kekakayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Amanat konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 33, ayat 3 itu, telah berubah menjadi mitos.
Ia hanya mimpi dan utopis di dunia nyata. Kekuasaan juga telah membelenggu suara, pikiran dan tindakan rakyat atas nama kesinambungan jabatan dan menumpuk-numpuk harta. Rakyat tak ubahnya budak di hadapan rezim ini. Terpinggirkan dan terus mengalami diskriminasi politik, ekonomi, hukum dll. Hanya ada individualized structure menurut dan mematuhi peraturan. Diluar itu, akan ada tindakan represif, pemenjaraan dan jika diperlukan menghadirkan kematian.
Rakyat Indonesia memang telah kehilangan negara. Apa yang ada dalam negara dengan segala fasilitas, jaminan hidup dan kelayakan masa depan tak lagi dimiliki rakyat. Semua potensi kebaikan yang ada dalam negara telah dimiliki asing, aseng dan bromocorah lokal. Konspirasi worldwide bertemu dengan para penjilat dan penghianat bangsa, semakin memastikan ironi negeri. Korupsi dan tindakan sewenang-wenang telah menjadi propensity dan serba permisif bagi para penyelenggara negara dan kongsi bisnisnya.
Semakin renta dan uzur Indonesia menapaki jalan kebangsaan. Republik ini terlalu banyak memakan racun ideologi dunia. Tubuhnya mengidap penyakit kronis dan akut. Bahkan untuk nengobatinya, negeri ini tak punya apa-apalagi. Bukan hanya biaya, bahkan keberanian untuk sembuh dan pulihpun tidak ada. Kekhawatiran dan ketakutan terus menghidupi meski tetap berada diantara hudup dan mati. Hidup dan mati entah secara alami atau entah karena persoalan struktural, karena kekuasaan.
Sudah mayoritas miskin, bodoh dan terbelakang. Indonesia juga terpuruk karena kesakitannya. Tak punya apa-apa lagi sebagai rakyat di negeri ini. Kemana lagi rakyat harus bertanya dan mengadu. Masih adakah dan kemana rakyat dan pemimpin-pemimpin seperti dulu yang nasionalis, patriotis dan religius? Termasuk terus membatin sambil mengelus dada, Indonesia Tanah Air Siapa?
*(Penulis adalah pegiat sosial dan aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari)