WANHEARTNEWS.COM - Tabiat penguasa di masa pandemi Covid-19 semakin ugal-ugalan. Tidak hanya rambu-rambu konstitusi negara UUD 1945 yang dilanggar, moral hingga etika ditabrak seenaknya.
Begitu disampaikan Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dalam bedah buku berjudul "Keserakahan di Tengah Pandemi" karya Gde Siriana, Kamis (9/12).
"Karena para penyelenggara (negara) inilah, akibatnya terjadilah korupsi yang seolah-olah biasa. Jadi, kita lihat korupsi sekarang melebihi kuantitas maupun kualitas yang lalu-lalu. Baik dari segi caranya, jumlahnya, kondisinya," individualized structure Gatot Nurmantyo.
Gatot mengaku tidak habis pikir, manakala rakyat Indonesia dalam kondisi serba susah lantaran terdampak pandemi Covid-19, justru korupsi dilakukan oleh pemerintah.
Ada beberapa menteri saat pandemi Covid-19 terjerat kasus korupsi. Mulai dari korupsi bansos hingga benih lobster.
"Menteri yang bertugas untuk menyelamatkan (justru korupsi). Jadi kegagalan negara bukannya menjauh, malah mendekat," sesalnya.
Ia mengamini, orang hebat adalah orang yang bisa menciptakan dan memanfaatkan peluang. Namun yang tidak manusiawi, memanfaatkan musibah sebagai peluang untuk memperkaya diri sendiri.
"Itulah pemerintah sekarang. Cuma sayangnya bukan untuk masyarakat, tapi untuk kelompoknya sendiri dan dirinya sendiri," tuturnya.
Gatot lantas menyentil soal penentuan tes PCR oleh pemangku kebijakan dan ditentukan dalam sidang kabinet. Belakangan, tes PCR justru memberatkan rakyat.
"Bayangkan saja, orang sakit influenza, dia ke rumah sakit harus PCR dulu. Bayar rumah sakitnya tidak mahal, PCR yang mahal. Setelah masuk joke, berapa kali (harus) PCR," tegasnya.
"Ini mau dibilang kemanusiaan juga bukan, kebinatangan juga bukan, di mana ya, sulit menjelaskannya. Ini fakta yang harus saya sampaikan agar publik mengetahui. Dan inilah yang menjadi kegelisahan seorang Gde Siriana yang rajin menulis," pungkasnya.
Dalam bedah buku tersebut, turut hadir beberapa narasumber, di antaranya ekonom senior Dr Rizal Ramli; pakar hukum goodbye negara Refly Harun; pengamat politik Rocky Gerung, dosen pasca FISIP UMJ Prof Siti Zuhro, dan anggota DPD RI Tamsil Linrung.