Siapa Calon Ketum PBNU yang akan Memenangkan Muktamar NU ke-34? -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Siapa Calon Ketum PBNU yang akan Memenangkan Muktamar NU ke-34?

Rabu, 22 Desember 2021 | Desember 22, 2021 WIB | 0 Views Last Updated 2021-12-22T10:08:27Z
Wanheart News

Oleh: A. Khoirul Umam

JELANG Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama, sejumlah kandidat kuat mulai bermunculan, mulai dari petahana KH Said Aqil Siradj, KH Yahya Cholil Staquf yang semula menjabat sebagai Katib Am PBNU, KH As’ad Said Ali yang juga mantan Waketum PBNU dan mantan Waka BIN RI, lalu KH Marzuki Mustamar yang saat ini menjadi Ketua PWNU Jawa Timur. Lalu siapa yang berpotensi menang dalam pemilihan di Muktamar kali ini?

Setidaknya ada beberapa faktor yang berpotensi mempengaruhi arah keputusan pemilik hak suara di Muktamar kali ini. Pertama, level independensi dan netralitras PWNU, PCNU dan juga PCI-NU dalam menentukan pilihan di pemungutan suara nanti. Kedua, efektivitas kekuatan masing-masing loyalis dalam mendukung calon masing-masing. Ketiga, pengaruh kekuatan sel-sel ekonomi-politik dari internal Nahdyin yang tersebar di berbagai lini, baik di level state actor maupun non-state actor.

Keempat, potensi adanya intervensi kekuatan ekonomi-politik dari pihak eksternal Nahdliyyin, yang mencoba mencari untung dan investasi pengaruh politik dari agenda dukung-mendukung calon Ketum PBNU ke depan.

Hipotesisnya, jika faktor pertama dan kedua kuat, sedangkan faktor ketiga dan keempat lemah, maka hasil Muktamar NU ke-34 kali ini akan menghasilkan produk keputusan dan kepemimpinan yang lebih genuine dan sesuai aspirasi jamaah Nahdliyyin di nusantara. Namun sebaliknya, jika faktor pertama dan kedua lemah, sedangkan faktor ketiga dan keempat tinggi, maka hasil Muktamar NU akan lebih ditentukan oleh aliansi kekuatan ekonomi-politik yang mencoba mencari untung dan membangun pengaruh jelang Pemilu 2024 dari otak-atik kepemimpinan Nahdlatul Ulama. Tentu, yang kedua ini, tidak diinginkan semua pihak.

Lalu pertanyaan selanjutnya, siapa yang memiliki peluang lebih besar?

Pertama, petahana KH Said Aqil Siradj yang telah memimpin NU selama 10 tahun terakhir, tentu telah membangun akar yang cukup kuat di tingkat wilayah (PWNU), cabang (PCNU) dan juga cabang istimewa (PCI-NU). Kiai Said juga merupakan figur yang tegas dan clear dalam menyikapi tren fundamentalisme Islam di Indonesia. Kiai Said juga dianggap tokoh sentral yang berhasil mengawinkan pasangan Presiden Jokowi-Wapres Maruf Amin sebagai representasi bersatunya kelompok nasionalis dan Islam moderat di PIlpres 2019 lalu.

Artinya, Kiai Said memiliki hubungan erat dengan Istana Presiden dan Megawati sebagai pemilik saham utama pemerintahan saat ini. Namun demikian, Muktamar NU lebih ditentukan sikap para pemilik suara yang pada saat tertentu, cukup sensitif pada narasi-narasi kontroversial. Misalnya, saat ini kekuatan tim Kiai Said berpotensi dihantam oleh sejumlah narasi; laiknya “pentingnya regenerasi”; “kuatnya nuansa politisasi PBNU”; hingga tudingan sebagian pihak pada elemen lini tengah timnya Kiai Said yang beberapa waktu lalu dianggap “berani memalsukan tanda tangan Rois Am”.

Karena itu, untuk menang, tim Kiai Said harus mampu menetralisir narasi-narasi sensitif itu, yang belakangan terasa cukup efektif mempengaruhi sikap keorganisasian sejumlah pimpinan PWNU dan PCNU di sejumlah wilayah.

Kedua, KH Yahya Cholil Staquf; saat ini dianggap menjadi penantang terberat bagi petahana. Secara perlahan, Kiai Yahya berhasil mengonsolidasikan dukungan, dengan berselancar di atas narasi-narasi sensitif yang harus diklarifikasi tim Kiai Said.

Meskipun tidak mudah dibuktikan, namun keberadaan Menteri Agama Gus Yaqut yang notabene adik kandung Kiai Yahya, berpotensi memberikan keleluasaan untuk membangun komunikasi dengan PWNU dan PCNU di daerah yang notabene juga berkhidmat di Kementerian Agama.

Selain itu, secara politik, Kiai Yahya dianggap sebagai tokoh baru yang berpotensi mengubah pola relasi antara NU dengan sejumlahs stakeholders di Tanah Air, mulai dengan partai-partai politik tertentu hingga Ormas-ormas lain yang selama ini cukup sering bersitegang dengan NU di bawah kepemimpian Kiai Said yang cenderung memiliki gaya komunikasi yang terbuka dan apa adanya.

Karena itu secara politik, Kiai Yahya tidak memiliki resistensi besar dari kekuatan-kekuatan politik internal maupun eksternal NU. Terlebih lagi jika Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar bisa membuat kesepakatan agar kemenangan Gus Yahya tidak dijadikan sebagai ajang konsolidasi kekuatan untuk men-challenge kepemimpinan Cak Imin yang telah bertahan selama lebih dari 20 tahun di PKB ini.

Terlepas dari itu, narasi sensitif yang bisa digarap untuk melemahkan dukungan Kiai Yahya salah satunya terletak pada isu “pro-Israel” yang seringkali dikaitkan dengan kehadirannya di sebuah even forum internasional di Tel Aviv beberapa tahun lalu. Jika Kiai Yahya mampu mentralisir dan menjelaskan alasan kehadirannya di forum internasional tersebut dengan baik pada PWNU, PCNU, dan PCI-NU, maka besar kemungkinan ia mampu mengonsolidasikan kekuatannya untuk memenangkan kontestasi di Muktamar ke-34 ini.

Sementara itu, nama KH As’ad Said Ali dan KH Marzuki Mustamar merupakan dua nama potensial yang menjadi calon alternatif di luar dua mainstream utama yang berkompetisi. Calon alternatif Ketum PBNU ini memang dibutuhkan untuk memecah kebekuan komunikasi, sekaligus untuk menurunkan tensi dalam kompetisi jelang Muktamar kali ini. Keberadaan dua kutub kekuatan dalam ruang kompetisi cenderung membuat kompetisi lebih tinggi eskalasinya. Untuk itu, hadirnya calon pemimpin alternatif akan membuat proses regenerasi semakin terbuka. 

Adapun peluang Kiai As'ad Ali Said untuk maju sebagai calon Ketum, Kiai Asad masih harus bekerja keras di sisa waktu yang sangat terbatas ini. Meskipun telah didukung oleh sejumlah penguruh NU daerah, langkah Kiai As’ad berpotensi menghasilkan dua kemungkinan.

Pertama, jika terjadi situasi luar biasa dan muncul upaya pelimpahan kekuatan, maka Kiai As’ad berpotensi menjadi “kuda hitam” dalam Muktamar kali ini. Semua ditentukan oleh seberapa intensif dan sistematis strategi pendekatannya.

Kedua, jika memang targetnya tidak menang, maka majunya Kiai As’ad berpotensi memecah dukungan salah satu calon Ketum yang lain, antara basis pemilih loyal Kiai Said Aqil dan Kiai Yahya Cholil Staquf. Siapa yang tergerus, akan ditentukan oleh siapa pihak yang mampu berkomunikasi lebih baik dengan tim Kiai As’ad. 

Sementara itu, peluang Ketua PWNU Jawa Timur KH Marzuki Mustamar untuk maju di Muktamar kali ini, relatif belum tampak signifikan. Sebab, Kiai Marzuki dihadapkan pada beberapa realitas.

Pertama, solidnya elemen PWNU Jawa Timur untuk mendukung Kiai Yahya Staquf, sebagai respon balik atas perbedaan pandangan dalam Muktamar Jombang lalu yang menghasilkan kepemimpinan periode kedua Kiai Said. Kedua, sudah jelasnya sikap dan dukungan Rois Am KH Miftakhul Ahyar, meskipun masih disampaikan melalui symbol-simbol komunikasi dan belum pernah disampaikan secara eksplisit.

Maka, jika Kiai Marzuki Mustamar mengajukan diri atau mendukung Kiai Said di Muktamar kali ini, akan membuatnya “sungkan” dan harus berpikir ulang karena harus berhadapan dengan Rois Am KH Miftakhul Akhyar dan juga jajaran PWNU Jawa Timur secara general.

Terlepas bagaimana hasil Muktamar NU ke-34 nanti, seluruh umat dan masyarakat Indonesia tentu berharap Muktamar kali menghasilkan keputusan yang tepat untuk meneguhkan semangat Keislaman dan Keindonesiaan, guna mengawal spirit Islam Rahmatan Lil Alamin, sebagai pilar bangsa untuk mewujudkan perdamaian dunia.

Lalu, siapa yang berpeluang menang? Waallu a’lam bi shawab.

*(Penulis adalah dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina; alumni School of Political Science & International Studies, The University of Queensland, dan juga mantan Ketua Tanfidz PCI-NU Queensland, Australia.)
×
Berita Terbaru Update
close