WANHEARTNEWS.COM - Baru-baru ini, seorang kriminolog UI membuat heboh usai mengaitkan Aksi 212 dengan radikalisme.
Kriminolog Universitas Indonesia, Arijani Lasmawati, mengeluarkan peringatan kepada pemerintah agar waspada akan gerakan yang kental akan radikalisme jelang Pilpres 2024.
Arijani Lasmawati lantas menyebutkan Aksi 212 sebagai contoh dari gerakan radikalisme yang ia maksud kala mendekati Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pilpres 2019 lalu.
Menurutnya, Aksi 212 tersebut semakin menaikkan perkembangan radikalisme.
Dalam keterangannya, Arijani mengatakan bahwa ia telah mewawancarai 4 orang perwakilan mantan anggota kelompok teror.
Dari hasil wawancara tersebut, ia mendapatkan informasi bahwa kelompok-kelompok radikal telah membawa empat orang yang ia wawancarai itu masuk ke dalam pusaran kontestasi politik.
Oleh karena itu, ia lantas menilai bahwa Aksi 212 pun tak bisa dipungkiri merupakan peristiwa yang muncul akibat carut-marut Pilkada DKI Jakarta kala itu.
Hal inilah yang lantas membuat Arijani Lasmawati mewanti-wanti pemerintah untuk waspada akan gerakan radikalisme jelang Pilpres 2024.
Terkait hal ini, pakar hukum tata negara, Refly Harun, turut memberikan komentar.
Refly merasa heran lantaran isu radikalisme seolah selalu menjadi pembahasan ketika mendekati pemilihan.
Padahal, kata Refly Harun melanjutkan, tidak pernah ada yang mewaspadai tindakan korupsi yang merampok uang rakyat.
"Lagi-lagi radikal radikul, nggak pernah diwaspadai tuh gerakan korupsi untuk mengeduk uang negara, untuk biaya Pilpres dan Pileg, kan nggak pernah disebut," ujarnya, dikutip dari kanal YouTube Refly Harun.
Ia lantas menyebut bahwa sebenarnya masalah terbesar dalam pemilihan umum di Indonesia bukanlah isu radikalisme.
Refly Harun mengatakan bahwa masalah terbesar Pemilu di Indonesia adalah kecurangan.
"Problem terbesar di Pemilu kita itu adalah curang, Pemilu curang, menggunakan politik uang, kemudian penyelenggara Pemilu tidak independen alias berpihak, itulah problem-problem utama kita, bukan radikalisme," katanya. dtk