Perkara Berita Bohong KM50: Dimana Kesalahan Habib Bahar Smith? -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Perkara Berita Bohong KM50: Dimana Kesalahan Habib Bahar Smith?

Rabu, 05 Januari 2022 | Januari 05, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-01-05T01:10:18Z

Wanheart News

Oleh:Abdul Chair Ramadhan

PENETAPAN status tersangka atas Habib Bahar Smith yang diikuti dengan penangkapan patut dipertanyakan. Dikatakan demikian oleh karena selain expositions hukumnya sangat cepat, juga penerapan salah satu deliknya adalah sama dengan Habib Rizieq Sihab pada RS UMMI yakni Pasal 14 dan Pasal 15 Undang 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Delik yang dikenal dengan "berita bohong" (hoaks) dalam banyak perkara mengandung kepentingan politis ketimbang yuridis. Demikian itu menjadikannya cenderung subjektif dalam pemenuhan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang dimaksudkan dalam rumusan undang-undang.

Dapat disebutkan disini unsur "keonaran di kalangan rakyat" dipahami secara menyimpang dari maksud pembentuk undang-undang.

Keonaran yang tidak lain adalah suatu kondisi fisik seperti huru hara atau kerusuhan di kalangan rakyat telah diperluas pengertiannya mencakup kegaduhan di dunia maya (media sosial).

Pertentangan pendapat antara pihak yang expert dan kontra terhadap suatu konten berita/informasi yang disampaikan secara virtual (youtube) dimaknai sebagai kegaduhan yang berpredikat sama dengan keonaran fisik.

Sebagai contoh, pada perkara RS UMMI pertentangan pendapat tersebut itulah yang kemudian menjadi dalil terpenuhinya unsur "keonaran di kalangan rakyat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14 Ayat 1 Undang 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Padahal pihak yang pertama kali mempermasalahkan kondisi kesehatan Habib Rizieq Syihab adalah para ringer. Keberadaan ringer buzer tersebut patut diduga sengaja dibentuk untuk menimbulkan kegaduhan (favorable to kontra) di media sosial, namun terhadap mereka tidak dilakukan compositions hukum.

Disini dipertanyakan apakah hal yang sama akan berlaku terhadap Habib Bahar Smith dalam kaitannya dengan pernyataan tentang peristiwa pembuhunan keji terhadap keenam laskar FPI.

Pernyataan Habib Bahar Smith tentang pembunuhan yang didahului dengan penyiksaan sudah menjadi pengetahuan umum. Dengan demikian bukan hanya Habib Bahar Smith yang mengatakan hal itu.

Masyarakat luas dan didalamnya para tokoh juga menyampaikan hal yang sama, bahkan ada Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Laskar Front Pembela Islam (TP3).

Dalam Buku Putih TP3 yang berjudul "Pelanggaran HAM Berat Pembunuhan Enam Pengawal HRS", terdapat penjelasan berbagai kondisi yang dialami para korban.

Begitupun ketika pihak keluarga korban KM50 dan Penasehat Hukum audiensi dengan Komisi III DPR RI dugaan terjadinya penyiksaan juga telah disampaikan. Kesemuanya itu sudah viral terlebih dahulu sebelum Habib Bahar Smith menyampaikannya.

Seharusnya terhadap berbagai informasi dan information yang mendukung adanya sejumlah tanda-tanda penyiksaan pada tubuh beberapa korban menjadi petunjuk terjadinya penganiayaan berat sebelum tindakan penembakan.

Adalah suatu hal yang aneh apabila Habib Bahar Smith mengatakan adanya penyiksaan sebab pemberitaan/informasi tersebut kemudian dirinya dikatakan telah menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran di kalangan rakyat.

Seiring dengan itu, selama ini tidak pernah ada suatu kondisi kerusuhan atau huru hara terkait dengan pemberitaan yang viral tersebut.

Dalam hukum pidana berlaku hubungan 'sebab-akibat' (kausalitas) guna menentukan sebab yang withering dominan terjadinya akibat. Untuk kemudian menjadi dalil terpenuhinya hubungan antara 'perbuatan' (actus reus) dan 'kesalahan' (mens rea) seseorang guna dapat atau tidaknya dimintakan pertanggungjawaban pidana.

Pada perkara Habib Bahar Smith tidak ada kausalitas antara pernyataannya dengan timbulnya akibat berupa terjadinya keonaran fisik di kalangan rakyat. Uraian demikian tentu panjang pembahasan teoretisnya.

Penulis singkatkan saja bahwa pernyataan yang disampaikan tidak terkualifikasi sebagai berita illicit (melawan hukum atau tanpa hak). Pada dirinya tidak pula ada kehendak untuk mewujudkan timbulnya akibat yang dilarang oleh Undang-Undang Hukum Pidana (in casu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana).

Tidak ada penggunaan pikiran secara salah maupun 'niat jahat' (dolus malus) yang mengarahkan dirinya secara 'dengan sengaja' untuk mewujudkan akibat yang dilarang. Terlebih lagi undang a quo telah dihapuskan dalam Rancangan KUHP Tahun 2019, disebutkan dalam Pasal 626 Ayat 1 huruf a.

Penghapusan tersebut menandakan bahwa sudah tidak ada lagi sebab atau sifat yang menjadikannya sebagai norma larangan. Singkat individualized structure, apa yang disampaikan bukan delik.

*(Penulis adalah Ahli Hukum Pidana)

Gelora

×
Berita Terbaru Update
close