Proyek Satelit Kemhan Baru Dibongkar, Ini Penjelasan Mahfud MD -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Proyek Satelit Kemhan Baru Dibongkar, Ini Penjelasan Mahfud MD

Minggu, 16 Januari 2022 | Januari 16, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-01-16T04:34:22Z

WANHEARTNEWS.COM - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, menyampaikan penjelasan alasan pemerintah baru sekarang mengungkap kasus proyek pengadaan satelit Kementerian Pertahanan (Kemhan). Kasus yang ditaksir merugikan negara ratusan miliar rupiah itu disebut sudah ada pada 2018.

Mahfud mengatakan sejak Sabtu kemarin, beberapa awak media bertanya terhadapnya soal kasus tersebut. Ia menjawab pertanyaan kasus ini baru dibuka sekarang padahal sudah ada sejak 2018.

"Loh, tahun 2018 saya belum jadi Menko. Jadi, saya tak ikut dan tak tahu persis masalahnya. Saat saya diangkat jadi Menko, saya jadi tahu karena pada awal pendemi COVID-19," kata Mahfud dalam akun Instagramnya @mohmahfudmd yang dikutip VIVA pada Minggu, 16 Januari 2022.

Dia menyebut saat itu ada laporan bahwa pemerintah RI harus hadir lagi ke sidang arbitrase di Singapura. Hal ini karena digugat Navayo untuk membayar kontrak dan barang yang telah diterima Kemhan.

"Saya kemudian mengundang rapat pihak-pihak terkait sampai berkali-kali tetapi ada yang aneh. Sepertinya ada yang menghambat untuk dibuka secara jelas masalahnya," tutur Mahfud.

Kemudian, ia memutuskan untuk meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan Audit Tujuan Tertentu (ATT). Pun, dari hasil audit itu diketahui membenarkan dugaan pelanggaran tersebut.

"Ada pelanggaran peraturan perundang-undangan dan negara telah dan bisa terus dirugikan. Makanya, saya putuskan untuk segera berhenti rapat melulu dan mengarahkan agar diproses secara hukum," sebut eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.

Mahfud juga bilang bahwa Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi meminta kasus ini diproses. Dukungan juga disuarakan pejabat menteri lain seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani hingga Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.

"Presiden juga meminta agar segera dibawa ke ranah peradilan pidana. Menkominfo setuju, Menkeu bersemangat. Menhan Prabowo dan Panglima TNI Andika juga tegas mengatakan bahwa ini harus dipidanakan," tuturnya.

Kata dia, Menteri Pertahanan Prabowo dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa juga menyampaikan tak boleh ada pengistimewaan. Dia meminta semua pihak agar bersama-sama mencermati dugaan kasus ini.

"Bahkan Menhan dan Panglima TNI tegas mengatakan tidak boleh ada pengistimewaan kepada korupsi dari institusi apa pun, semua harus tunduk pada hukum. Saya berbicara dengan Jaksa Agung yang ternyata juga menyatakan kesiapannya dengan mantap untuk mengusut kasus ini," ujar Mahfud.

Sebelumnya, Mahfud menyampaikan pemerintah menemukan adanya dugaan pelanggaran hukum dalam proyek pengadaan satelit Kemhan pada 2015. Mahfud bilang, negara mengalami kerugian ratusan miliar rupiah.

Dia menyebut, pelanggaran itu terjadi dalam kurun waktu 2015-2016 untuk membuat Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Proyek tersebut memiliki nilai kontrak yang sangat besar. Padahal, saat itu, anggarannya sendiri belum ada sehingga menjadi pelanggaran. 

Mahfud menjelaskan, Kemhan pada 2015 melakukan kontrak dengan Avanti untuk melakukan kerjasama yang anggarannya belum ada. Selain Avanti, beberapa perusahaan lain yang terlibat yakni Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat. 

Kata dia, merujuk kontrak tanpa anggaran negara itu jelas melanggar prosedur. Pihak Avanti kemudian menggugat Pemerintah RI di London court of International arbitration. 

Gugatan dilakukan karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang ditandatangani.

"Pada 9 Juli 2019 pengadilan arbitrase di Inggris menjatuhkan putusan yang berakibat negara membayar mengeluarkan pembayaran untuk sewa satelit Artemis," kata Mahfud.

Mahfud menyebut jumlah nominal yang mesti ditanggung negara imbas dari proyek bodong tersebut.

"Ditambah dengan biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filling sebesar Rp515 miliar. Jadi, negara membayar Rp515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya," tuturnya. [viva]
×
Berita Terbaru Update
close