Oleh: Moch Eksan*
DUET KH Miftachul Akhyar dan KH Yahya Cholil Staquf telah mengumumkan struktur Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masa khidmat 2021-2026. Struktur ini sangat menarik, sebab banyak ulama dan aktivis perempuan NU yang menduduki jajaran Musytasar, A'wan dan Tanfidziyah.
Memang, keberadaan ulama dan aktivis perempuan NU mulai nampak semenjak kepemimpinan KH Ma'ruf Amien-KH Said Aqil Siroj pada masa khidmat 2015-2021. Namun, keberadaan mereka mengelompok pada jajaran A'wan PBNU.
Sebut saja nama-nama tenar berikut ini: Dra Hj Sinta Nuriyah, MHum, Dra Hj Mahfudhoh Ali Ubaid, Nyai Hj Nafisah Sahal Mahfudh, Prof Dr Hj Chuzaimah T Yanggo, Dr Hj Faizah Ali Sibromalisi, MA, Prof Dr Hj Ibtisyaroh, SH, MM, dan Dr Hj Sri Mulyati.
Mereka para tokoh perempuan pesantren dan perguruan tinggi yang terlibat aktif dalam pergulatan diskursus dan perjuangan melawan tindakan diskriminatif dan ketidakadilan gender dalam maupun di luar NU. Usaha dan upaya mereka baru berhasil setelah hampir dua dekade sejak 1997 sampai dengan 2015.
Periode kedua Kiai Said menjadi entry point bagi runtuhnya hegemoni patriarki di PBNU. Sekarang, Gus Yahya kian menyempurnakan dalam struktur PBNU yang baru. Banyak ulama dan aktivis perempuan menguatkan kepengurusan hasil Muktamar ke-34 NU pada 2021 di Lampung.
Yang duduk di jajaran Mustasyar adalah Nyai Hj Nafisah Sahal Mahfudz, Nyai Hj Sinta Nuriyah A Wahid, dan Nyai Hj Machfudhoh Ali Ubaid.
Sementara, di jajaran A'wan meliputi Hj Nafisah Ali Maksum, Hj Badriah Fayumi, Hj Ida Fatimah Zainal dan Hj Dr Faizah Ali Sibromalisi.
Sedangkan, di jajaran Tanfidziyah terdiri dari Nyai Dra Hj Khofifah Indar Parawansa, MA, Nyai Hj Alissa Qodrunnada Wahid, SPsi, dan Ai Rahmayanti, SSos, MAg.
Keberadaan para tokoh perempuan di kabinet PBNU memberi pesan umum dan khusus. Pesan rekognisi ulama dan aktivis perempuan di keluarga besar NU.
Organisasi Islam terbesar di dunia ini telah mengakui penuh kesamaan hak laki-laki dan perempuan. Tentu selain yang dikecualikan menurut hukum syariat yang disepakati oleh para ulama NU.
Saat ini organisasi Muslimat, Fatayat dan IPPNU bukan lagi satu-satunya wadah peran dan kiprah para perempuan NU.
Mereka sudah dapat diterima di kepengurusan NU sebagai induk organisasi otonom para ibu, remaja dan pelajar putri NU. Bahkan, tak mustahil nanti suatu waktu, PBNU bisa dikomandani oleh kader perempuan.
Di masyarakat luas, kepemimpinan perempuan sudah tidak menjadi soal yang memicu perdebatan fiqih Islam. Hukum positif telah memperbolehkan siapa saja untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin nasional maupun daerah.
Malahan, semua produk perundangan telah mempersyaratkan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam hal tertentu. Ini adalah kebijakan afirmatif dalam meningkatkan peran publik perempuan di pemerintahan dan parlemen.
Pada beberapa tahun terakhir, ada awareness para elite NU memerdekakan diri dari ortodoksi agama yang bias gender. Mereka menyadari bahwa laki-laki dan perempuan punya hak sama dalam jabatan publik.
Namun, perlu dicatat kata KH Muchith Muzadi, laki-laki dan perempuan selain punya kesamaan, juga memiliki perbedaan. Yang sama tak perlu dibedakan dan yang beda juga tak perlu disamakan. Biarkan lah sesuai dengan kodrat masing-masing.
Ibu Sinta merupakan lokomotif dari gerakan feminisme di NU. Sebuah gerakan yang membuka terali besi teks dan kultur agama yang membelenggu perempuan pada peran domistik.
Layaknya sang suami, KH Abdurrahman Wahid, Ibu Sinta termasuk sangat berani memprakarsai tafsir ulang terhadap khazanah kitab kuning yang bias gender.
Melalui Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) Yayasan Puan Amal Hayati, Ibu Sinta bersama dengan Prof Dr KH Nazaruddin Umar, DR (HC) KH Husein Muhammad dan kawan-kawan melakukan secara intensif pembacaan ulang terhadap teks klasik. Ini cukup berhasil merombak peta intelektual kiai NU.
Produk rintisan Ibu Sinta tersebut baru dinikmati bersama setelah Gus Yahya tampil sebagai Ketua Umum PBNU. Banyak ulama dan aktivis perempuan masuk dalam struktur PBNU.
Kondisi ini pasti tak pernah dibayangkan oleh siapa pun, Hanya Ibu Sinta sendiri yang konsisten di jalan perjuangan feminisme dunia.
Sebagai penutup, teringat pada pernyataan Albert Einstein, "Wanita yang mengikuti orang banyak biasanya tidak akan melangkah lebih jauh dari kerumunan. Wanita yang berjalan sendirian kemungkinan besar akan menemukan dirinya di tempat yang belum pernah dikunjungi siapa pun."
Ternyata, tempat tersebut adalah struktur PBNU yang feminis di era santri Gus Dur yang setia
(*Penulis adalah mantan Wakil Sekretaris PCNU Jember dan Pendiri Eksan Institute)