WANHEARTNEWS.COM - Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) yang sudah disahkan menjadi UU IKN ternyata menyimpan potensi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal tersebut disampaikan pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, yang memandang pengesahan UU IKN melalui rapat paripurna berpotensi memunculkan masalah serius secara konstitusional.
Menurut Fahri, jika ada laporan dari publik terhadap UU IKN, maka MK bisa menggunakan instrumen kewenangannya sebagai the Guardian of the Constitution maupun sebagai the sole interpreter of the constitution.
Dengan kewenangan tersebut, Fahri melihat MK dapat bersikap tegas dengan mendudukkan konstitusi sebagaimana mestinya terkait IKN baru tersebut dalam koridor serta frame konstitusi.
"MK dapat saja membatalkan sebuah pengaturan terkait pranata yang tidak dikenal, baik dalam konteks tidak dikenalnya nomenklatur otorita dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun konsep serta paradigma yang memang sangat berbeda maupun tidak dikehendaki dalam rumusan konstitusi," ujar Fahri kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (25/1).
Fahri kemudian mengurai, konsep Otorita IKN berpotensi tidak sejalan dengan paradigma pemerintahan daerah yang sesuai desain konstitusional, sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 18 UUD NRI Tahun 1945.
Argumentasi itu disampaikan Fahri lantaran dia mengacu pada konstitusional yang mengatur konsep, struktur, bentuk serta mekanisme secara baku dan aturan dalam ketentuan pasal 18 ayat (1) sampai ayat (7).
Maka dari itu, jika pemerintah dan DPR RI mencoba untuk membangun rumusan serta konsep lain dengan metode ekstensifikasi atau perluasan makna terhadap makna otorita di dalam UU IKN, secara teknis ketatanegaraan jadi sangat sulit.
"Selain dari teks konstitusi yang ada dengan menjadikan pijakan konstitusi untuk memaknai konsep Otorita seolah-olah masih berada dalam rumpun serta ekosistem konsep pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam UUD 1945 saat ini," katanya.
Rumusan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 18 tersebut, menurut Fahri, mengatur tentang pembagian dan susunan tata pemerintahan daerah Indonesia. Pembagian pemerintahannya terdiri dari Provinsi, Kabupaten dan Kota, sebagaimana diatur UU.
Kemudian pada ayat (2), pemerintahan Provinsi, Kabupaten dan Kota mengatur pemerintahannya masing-masing sesuai asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pada ayat (3), menjelaskan perumusan bahwa Pemda Provinsi, Kabupaten dan Kota, memiliki DPRD, yang anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu).
Selanjutnya, Fahri membeberkan ketentuan yang terdapat dalam Ayat (4) yang mengatur bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota, sebagai kepala pemerintahan dipilih secara demokratis, yang diamanahkan menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang dalam UU ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat.
Fahri pun menyimpulkan, jika mendasarkan pada studi hukum tata negara mengenai metode penafsiran berdasarkan original intent, maka sangat sulit serta tidak kompatibel dengan makna dan paradigma yang telah diatur dalam dalam ketentuan pasal 18 dan 18A UUD NRI Tahun 1945.
Karena itu, dirinya menekankan bahwa konstruksi konsep Otorita dalam UU IKN yang baru disahkan menjadi tidak sejalan dengan spirit konstitusi, sepanjang terkait dengan konsep dan tata kepemerintahan daerah sesuai UUD.
Dengan demikian, jika ada warga negara yang memiliki legal standing, serta interest standing terkait konstitusionalitas otorita IKN, maka secara teoritik MK bisa saja membatalkan atau dapat menyatakan konsep otorita yang terdapat dalam UU IKN itu dinyatakan inkonstitusional.
"Ini adalah sesuatu yang sangat riskan, hemat saya idealnya konsep dalam membangun kepemerintahan dalam UU IKN ini haruslah sejalan dan taat pada asas yang telah diatur dalam konstitusi, agar tidak menjadi problem teknis ketatanegaraan dalam urusan pemerintahan," demikian Fahri. [rmol]