WANHEARTNEWS.COM - Meski sudah menjadi undang-undang, bukan berarti UU IKN bebas dari kritikan.
Sebab, proses pembahasan saat masih berstatus RUU dinilai tidak melibatkan partisipasi banyak kalangan masyarakat.
Tak heran, menurut pakar hukum tata negara Ismail Hasani, UU IKN terus menuai protes.
Terutama dari kalangan masyarakat di sekitar lokasi pembangunan IKN di Kabupaten Penajam Passer Utara, Kalimantan Timur.
Terlebih lagi, draf atau naskah akademik dari RUU tersebut tidak disebarluaskan kepada masyarakat luas untuk dipelajari dan dikritisi.
“Waktu undang-undang Ciptaker kan masih ada diedarkan, ini (RUU IKN) tidak diedarkan. Mungkin satu dua kawan dia punya. Tapi maksud saya dia (RUU IKN) tidak menjadi diskursus publik padahal ini mau jadi ibukota negara kok enggak menjadi diskursus publik, ini jadi ibukota siapa?” kata Ismail, Jumat (28/1).
Ismail juga menyinggung kepala badan otorita yang kelak akan memimpin ibukota baru.
Kepala badan otorita ini dianggap tidak melanggar konstitusi, lantaran di dalam undang-undang ditegaskan bahwa terdapat beberapa wilayah otonom dan memperbolehkan adanya dua kepala daerah.
"Kalau terkait ini konstitusi kita mengenal ada daerah-daerah otonom dan daerah khusus dan pembentukan daerah dengan undang-undang.
Jadi di luar konteks perdebatan pengujian formil tadi, menambah wilayah baru dengan gubernur baru itu sangat memungkinkan," jelasnya.
"Jadi nanti ada Gubernur Nusantara dan Gubernur Kaltim. Itu memungkinkan, dari segi konstitusi itu tidak ada masalah,” tambahnya.
Menurutnya, justru hal yang paling krusial adalah pemindahan ibukota ini menelan uang pajak rakyat, namun tidak didiskusikan dengan rakyat.
“Yang justru krusial itu tadi soal pemindahan dan dampak lanjutan yang ditimbulkan ribuan proyek yang akan lahir dari pajak rakyat itu kok tidak diperbincangkan dengan rakyat,” tandasnya. rmol