KPK Tahan Isnu Edhy Wijaya dan Husni Fahmi dalam Korupsi KTP-el -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

KPK Tahan Isnu Edhy Wijaya dan Husni Fahmi dalam Korupsi KTP-el

Kamis, 03 Februari 2022 | Februari 03, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-02-03T14:24:58Z

WANHEARTNEWS.COM - Dua tersangka pengembangan perkara pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) telah resmi ditahan tim penyidik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebut kerugian negara sebesar Rp 2,3 triliun.

Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar mengatakan, kedua tersangka yang ditahan hari ini, Kamis (3/2) yaitu, Isnu Edhy Wijaya (ISE) selaku Direktur Utama (Dirut) Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), dan Husni Fahmi (HSF) selaku Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan E-KTP pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

"Untuk kepentingan penyidikan, tersangka ISE dan HSF dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama terhitung 3 Februari 2022 sampai dengan tanggal 22 Februari 2022," ujar Lili kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis sore (3/2).

Kedua orang tersebut bersama dua orang lainnya telah diumumkan sebagai tersangka pengembangan perkara KTP-EL ini pada Agustus 2019. Kedua orang lainnya yang dimaksud yaitu, Miryam S Haryani (MSH) selaku anggota DPR RI periode 2014-2019; dan Paulus Tanos (PLS) selaku Dirut PT Sandipala Arthaputra.

Lili selanjutnya membeberkan konstruksi perkaranya yang dibagi menjadi dua untuk masing-masing tersangka.

Yang pertama untuk tersangka Isnu. Di mana kata Lili, setelah adanya kepastian akan dibentuknya beberapa konsorsium untuk mengikuti lelang KTP-el, maka pada sekitar Februari 2011, Andi Agustinus bersama dengan Isnu menemui Irman dan Sugiharto dengan maksud agar salah satu dari konsorsium tersebut dapat memenangkan proyek KTP-el.

Atas permintaan tersebut, Irman menyetujui dan meminta adanya komitmen pemberian uang kepada anggota DPR RI. Setelah adanya pengumuman pekerjaan penerapan KTP-el tahun anggaran 2011-2012, pada 28 Februari 2011, Isnu, Paulus, dan perwakilan vendor-vendor lainnya membentuk konsorsium PNRI sebagai salah satu dari tiga konsorsium yang dibahas antara Andi Agustinus, Isnu, Paulus, Husni dan pihak-pihak vendor untuk mengikuti lelang pekerjaan penerapan EKTP.

Sebelum konsorsium dibentuk kata Lili, Anang Sugiana selaku pemilik PT Quadra Solutions menemui Isnu di Kantor PNRI untuk menyampaikan keinginannya mengikuti pelaksanaan proyek KTP-el.

"Dalam pertemuan itu, ISE diduga menyampaikan pada Anang Sugiana bahwa proyek KTP-EL pada Kemendagri merupakan 'milik' Andi Agustinus," kata Lili.

Kemudian, dilakukan pertemuan di kantor PNRI yang dihadiri oleh Anang, Andi, Paulus dan Isnu.

Pada pertemuan tersebut, Anang menyampaikan bahwa PT Quadra Solutions bersedia untuk bergabung di konsorsium PNRI, kemudian Andi, Paulus, dan Isnu menyampaikan apabila ingin bergabung dengan konsorsium PNRI maka ada komitmen fee untuk pihak lain sebesar 10 persen. Yaitu dengan rincian lima persen untuk DPR RI, dan lima persen untuk pihak Kemendagri yang kemudian disanggupi oleh Anang.

Selain itu, Isnu juga sempat menemui Husni untuk konsultasi masalah teknologi dik arenakan BPPT sebelumnya mengajukan uji petik KTP-el pada 2009.

Kemudian, Isnu mengundang Husni untuk melakukan presentasi tentang teknologi KTP-EL pada pertemuan di Fatmawati.

Pada saat itu, Isnu bertindak sebagai Ketua Konsorsium PNRI. Pemimpin Konsorsium disepakati berasal dari BUMN, yaitu PNRI agar mudah diatur karena dipersiapkan sebagai konsorsium yang akan memenangkan lelang pekerjaan penerapan KTP-EL.

Isnu juga diduga melakukan pertemuan dengan Andi, Johannes Marliem dan tersangka Paulus untuk membahas pemenangan konsorsium PNRI dan menyepakati fee sebesar lima persen sekaligus skema pembagian beban fee yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR RI dan pejabat pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Berdasarkan kesepakatan hasil pertemuan tersebut, Perum PNRI bertanggungjawab memberikan fee kepada Irman dan stafnya sebesar lima persen dari jumlah pekerjaan yang diperoleh.

Lili menyebut, ada rentang waktu antara April-Juni 2011, Paulus, Isnu dan pihak-pihak vendor dalam konsorsium melaksanakan beberapa pertemuan untuk membahas harga barang dan margin keuntungan yang diharapkan, sehingga bisa diajukan harga penawaran.

Isnu bersama konsorsium PNRI mengajukan penawaran paket pengerjaan dengan nilai kurang lebih Rp 5,8 triliun.

Kemudian pada 30 Juni 2011, Sugiharto menunjuk konsorsium PNRI selaku pelaksana pekerjaan penerapan KTP-el tahun anggaran 2011-2012.

Untuk melaksanakan kontrak tersebut, Isnu membentuk manajemen bersama dan membagi pekerjaan kepada anggota konsorsium. Isnu juga mengusulkan adanya ketentuan setiap pembayaran dari Kemendagri untuk pekerjaan 6anh yang dilakukan oleh anggota konsorsium akan dipotong 2-3 persen dari jumlah pembayaran untuk kepentingan manajemen bersama.

Padahal kata Lili, di dalam rincian penawaran senilai Rp 5,8 triliun tidak ada komponen tersebut dan seharusnya semua pembayaran digunakan untuk kepentingan penyelesaian pekerjaan.

"Hasil pemotongan tersebut kemudian digunakan untuk membiayai hal-hal di luar penawaran dan juga digunakan untuk operasional manajemen bersama konsorsium PNRI," jelas Lili.

Pemotongan sebesar tiga persen tersebut pada akhirnya mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan prestasi Perum PNRI itu sendiri.

Semua pekerjaan dalam kontrak tersebut tidak dapat disubkontrakkan kecuali terdapat izin secara tertulis dari Sugiharto selaku PPK. Namun, konsorsium PNRI terbukti mensubkontrakkan sebagian pekerjaan tanpa persetujuan tertulis dari Sugiharto.

Selain itu, dalam pelaksanaannya, konsorsium PNRI juga tidak dapat memenuhi target minimal pekerjaan sebagaimana yang ditetapkan dalam kontrak.

Selanjutnya, Lili membeberkan konstruksi perkara untuk tersangka Husni Fahmi. Di mana, sebelum proyek KTP-el dimulai pada 2011, tersangka Husni diduga telah melakukan beberapa pertemuan dengan pihak-pihak vendor. Padahal, Husni dalam hal ini adalah Ketua Tim Teknis dan juga panitia lelang.

Pada Mei-Juni 2010, Husni kata Lili, ikut dalam pertemuan di Hotel Sultan bersama Irman, Sugiharto, dan Andi Agustinus.

Dalam pertemuan tersebut, diduga terjadi pembahasan tentang proyek KTP-el yang anggaran dan tempatnya akan disediakan oleh Andi.

Tersangka Husni juga hadir beberapa kali di pertemuan tersebut pada Juli 2010 yang membahas tentang uji petik, biometric, teknologi, dan teknis KTP-el.

Dalam pertemuan tersebut, Husni diduga mengubah spesifikasi, rencana anggaran biaya, dan seterusnya dengan tujuan markup. Setelah itu, Husni sering melapor kepada Sugiharto.

Selain itu, Husni juga hadir dalam pertemuan di Restoran Peacok bersama Irman, Sugiharto, dan beberapa orang dari vendor. Dalam pertemuan tersebut, Husni diberi tugas berhubungan dengan vendor dalam hal teknis proyek KTP-el.

Tersangka Husni dalam sebuah kesempatan diperintah oleh Irman untuk ke sebuah rumah di Kemang Pratama, sebagai bagian dari upaya Irman mengawal konsorsium PNRI, Astragraphia, dan Murakabi Sejahtera. Husni ditugaskan untuk membenahi administrasi supaya dipastikan lulus.

Tersangka Husni diduga tetap meluluskan tiga konsorsium yang dalam Proof of Concept tidak memenuhi syarat wajib, yakni mengintegrasikan Hardware Security Modul (HSM) dan Key Management System (KMS).

Padahal kata Lili, Proof of Concept merupakan beauty contest yang bertujuan untuk menguji apakah barang yang ditawarkan bisa berfungsi dengan baik atau tidak.

"Dalam perkara ini, kerugian keuangan negara kurang lebih sebesar Rp 2,3 triliun," pungkas Lili.(RMOL)
×
Berita Terbaru Update
close