OLEH: ARIEF GUNAWAN
ROMO Mangunwijaya di tahun 1989 menulis satu artikel berjudul “Tumbal”.
Tulisan di majalah Tanah Air yang terbit di Amsterdam, Belanda itu, berisi kritik terhadap proyek-proyek infrastruktur yang mengatasnamakan pembangunan dengan mengorbankan rakyat kecil sebagai tumbal.
Budaya dan mentalitas untuk mencari-cari tumbal dalam pembangunan setelah sekian lama republik ini merdeka ternyata menurut Romo Mangunwijaya belum selesai.
Di zaman animisme setiap pembangunan obyek penting selalu membutuhkan tumbal dengan mengorbankan nyawa manusia melalui ritual-ritual.
Setelah masuknya Islam adat kejam di Nusantara itu berakhir. Golongan sinkretis kemudian menggantinya dengan kepala kerbau sebagai tumbal dalam upacara-upacara peresmian proyek pembangunan.
Proyek Bendungan Bener, di kawasan Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, dan proyek penambangan emas PT Trio Kencana, di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, adalah contoh terbaru yang memakan rakyat kecil sebagai tumbal.
Sebuah proyek yang feasible tidak mungkin meminta tumbal atau korban, apalagi tumbalnya adalah warganegara yang paling tidak berdaya, yaitu wong cilik, yang di dalam sebuah negara yang adil dan beradab seharusnya dilindungi. Bukan diteror, diintimidasi, dan mengalami kekerasan fisik.
Di zaman Soeharto, pembangunan waduk Kedung Ombo, di Jawa Tengah, juga memakan tumbal.
Namun persoalannya bukan karena pembangunan waduk tersebut dibiayai oleh oligarki atau untuk kepentingan oligarki, seperti yang terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, saat ini.
Waktu itu oligarki belum menjadi monster mengerikan seperti sekarang.
Yang menjadi persoalan ialah waduk Kedung Ombo yang dibiayai oleh Bank Dunia, Bank Exim Jepang, dan APBN itu, memberikan uang ganti rugi tidak adil kepada penduduk. Sehingga ada semerbak bau korupsi dibelakangnya.
Ribuan keluarga kehilangan tanah akibat pembangunan waduk itu. Warga yang bertahan diteror, diintimidasi, dan mengalami kekerasan fisik. Pemerintah melalui aparat bersenjata memaksa warga pindah dengan mengairi lokasi proyek waduk. Akibatnya warga yang bertahan terpaksa tinggal di genangan air.
Sang Gubernur Jawa Tengah saat itu tidak berdaya membela warganya. Lagi-lagi bukan karena takut kepada oligarki yang bakal membiayainya jadi calon presiden, melainkan karena sang gubernur tidak berani melawan “perintah pusat” (Soeharto).
Peristiwa tragis yang dialami oleh penduduk Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, adalah contoh nyata yang terjadi akibat ketidakberpihakan capres oligarki kepada rakyat.
Ganjar Pranowo, sang Gubernur Jawa Tengah, yang belakangan ini masif mencitrakan diri sebagai calon presiden yang seolah-olah merakyat nyatanya perpanjangan-tangan oligarki. Yang oleh banyak pihak disebut-sebut ingin membuktikan “dharma bhakti & kesetiaan” kepada oligarki. Supaya benar-benar mendapatkan dukungan penuh menjadi capres boneka baru di Pilpres 2024.
Sehingga terhadap keburukan-keburukan oligarki Ganjar Pranowo lebih banyak bersikap “mikhul dhuwur mendhem jero ...”.
Tanda bukti kesetiaan kepada oligarki ini sangat penting, karena di belakang Ganjar Pranowo masih mengantre sejumlah figur lainnya yang masuk nominasi capres oligarki.
Kalau Ganjar Pranowo jatuh tersingkir dari orbit capres oligarki akibat insiden Desa Wadas ini, oligarki akan dengan mudah mengalihkan dukungan kepada figur capres oligarki lainnya yang sudah masuk di dalam perhitungan radar mereka.
Sebut saja misalnya, salah satu di antaranya, Erick Thohir, yang belakangan ini sibuk mencitrakan diri sebagai sosok pro rakyat, ketimbang fokus mengurus BUMN yang berantakan, sampai-sampai sidak ke WC Umum SPBU segala, supaya rakyat dibebaskan bayar ongkos dua ribu perak saat buang air.
Kenapa capres-capres oligarki bakal terus meminta tumbal di kalangan rakyat kecil?
Jawabannya karena mereka harus membayar lunas utang budi kepada oligarki.
Capres oligarki dan pada saat menjadi presiden akan menjadikan dirinya sebagai suksesor bagi kepentingan-kepentingan oligarki. Termasuk kepentingan bisnis dan ambisi-ambisi oligarki.
Tak peduli untuk itu akibatnya wong cilik diinjak-injak, rakyat jelata terus hidup melata, dijadikan mangsa belaka.
(Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sejarah)