Oleh: Hendra J Kede
Ketua Bidang Hukum PP KBPII/Wakil Ketua Departemen Komunikasi Ummat ICMI Pusat
Akhirnya penulis maklum juga. Kenapa Pak Guntur Romli minta suara azan kecil-kecil saja. Tidak perlu pakai suara besar-besar, apalagi sampai memakai pengeras suara seperti toa. Kapan perlu dalam hati saja.
Azan, menurut Pak Guntur Romli, adalah doa. Karena Allah SWT Maha Mendengar maka tidak ada salahnya doa azan itu bahkan dalam hati saja.
Toh yang penting sudah didengar Allah SWT. Toh yang penting maksud muadzin tercapai, doanya melalui azan didengar Allah SWT.
*
Suatu waktu, disaat penulis akan pergi merantau ke Jogja setamat SLTA tahun 1993, Ayahanda penulis, (alm) Syamsir alias Buyuang Kede, memberikan bekal petuah kepada penulis, dalam bahasa Minang tentunya.
"Mangango dulu, setelah itu baru mangecek. Dibawo kaateh jo kabawah dulu, satalah itu baru mamgecek (buka mulut dulu baru bicara, dibawa ke atas dan ke bawah dulu baru setelah itu bicara)."
Maksud bekal petuah yang merupakan local wisdom Minangkabau yang disampaikan Ayahanda penulis tersebut adalah jangan asal bicara.
Sebelum bicara dibawa ke atas terlebih dahulu. Maksudnya, suatu topik yang akan dibicarakan dan disampaikan kepada orang lain dipikirkan dengan akal terlebih dahulu dan dianalisis dengan ilmu dan didukung dengan data akurat terlebih dahulu.
Setelah itu masih harus dibawa ke bawah. Maksudnya dibawa ke dada, diperiksa dengan rasa, apakah ada manfaatnya atau tidak topik yang sudah ditimbang dengan akal tersebut kalau disampaikan kepada orang lain, atau malah akan membawa mudharat.
Ditumbang secara arif dan bijaksana terlebih dahulu. Benar materinya belum tentu baik dampaknya jika disampaikan.
Barulah setelah itu dilakukan, topik tersebut dibicarakan dan disampaikan kepada orang lain.
Dan jika akan disampaikan ke khalayak banyak, haruslah lebih teliti lagi memeriksa ke atas dan ke bawah tersebut.
Dan lebih teramat sangat perlu tindakan membawa ke atas dan ke bawah itu seandainya kita tidak ada memiliki ilmu yang cukup tentang topik yang akan dibicarakan tersebut. Bisa-bisa malah 'menelanjangi' kualitas wawasan dan keilmuan kita sendiri. Membuat malu diri sendiri.
Local wisdom Minangkabau tersebut masih dipertahankan sampai hari ini. Masih menjadi petuah yang disampaikan orang tua kepada anaknya yang akan merantau.
Setidaknya itu masih sering diingatkan niniak mamak dan alim ulama di kampung penulis di Jorong Mandahiling, Nagari Lawang Mandahiling, Kecamatan Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
*
Kalimat azan itu bukan berisi doa sebagaimana doa pada umumnya. Tidak ada satu pun kalimat dalam azan yang secara harfiah dimaknai sebagai doa.
Coba perhatikan dan baca terjemahan bacaan azan yang ditampilkan di televisi setiap waktu magrib itu, dengan mudah akan dipahami azan itu bukan doa.
Isi azan diawali pernyataan bahwa Allah SWT Maha Besar (Allahu akbar). Dilanjutkan dengan dua kalimat syahadat yaitu kalimat pernyataan ke-Islam-an seseorang. Kemudian dua kalimat panggilan untuk mendirikan sholat dan meraih kemenangan. Kembali kalimat pernyataan bahwa Allah SWT Maha Besar. Diakhiri kalimat pernyataan ke-esa-an Allah SWT, la ilaha illallah, tiada Tuhan selain Allah SWT.
*
Azan juga bukan untuk memanggil Allah SWT. Kenapa Allah SWT harus dipanggil segala?
Allah SWT itu lebih dekat kepada manusia bahkan lebih dekat dibanding urat leher manusia itu sendiri. Bahkan bisikan hati seorang hamba saja diketahui dengan sangat jelas oleh Allah SWT.
Salah satu pelajaran sangat dasar bagi pemula dalam belajar agama Islam adalah sejarah azan. Misal, kenapa orang yang azan itu disebut juga dengan panggilan bilal, yaitu nama budak sahaya keturunan Afrika yang dimerdekakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW.
Bahkan Bilal adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang bunyi telapak sandalnya di dalam surga telah didengar oleh Nabi Muhammad SAW. Dan Bilal adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang dibelakang namanya diberi predikat Radiallahu Anhu (RA) oleh para ulama.
Azan adalah cara memberi tahu ummat Islam yang sedang beraktifitas bahwa waktu sholat sudah masuk dan memanggil ummat Islam tersebut untuk segera meninggalkan perniagaan mereka untuk segera melaksanakan sholat.
Tergantung kapan azan itu dikumandangkan maka waktu sholat itu yang sudah masuk dan sholat itulah ummat Islam dipanggil untuk menunaikannya.
Kalau dikumandangkan saat waktu subuh berarti azan pemberitahuan waktu sholat subuh sudah masuk. Dan sekaligus memanggil umat Islam untuk menunaikan rukun Islam tersebut. Bahkan kalau di waktu subuh ditambah kalimat "Ashsholatu khoirumminannaium (sholat lebih baik dari tidur)".
*
Kalau azan itu untuk memberi tahu dan memanggil orang banyak yang tersebar di mana-mana, di sawah, di rumah, di kedai, level suaranya ya harusnya beda-beda.
Kalau di kampung penulis yang rumahnya jarang-jarang dan warganya siang hari bertebaran di sawah dan di ladang, suara azan itu kalau perlu ada toa yang menghadap ke setiap arah penjuru mata angin.
Kalau di kota yang rumahnya hanya berbatas dinding dan setiap RT ada musholanya, volumenya tentu agak beda dengan di kampung penulis.
Urusan azan juga terdengar oleh saudara kita yang non muslim, ya biasa sajalah, itulah gunanya Bhinneka Tunggal Ika kan?. Toh ummat muslim juga ndak keberatan mendengar lonceng Gereja.
Percayalah, ummat beragama di Indonesia itu sudah tinggi maqom toleransinya terkait suara azan, suara lonceng, maupun suara-suara lain penanda kegiatan keagamaan. Sudah sangat dewasa.
Kalau azan dikecil-kecilin, apalagi hanya bisik-bisik, dan apalah lagi kalau hanya dalam hati saja, apa ndak mengkhawatirkan itu?
Bayangkan kalau muazin atau bilal harus bisik-bisik tiap subuh. Berapa muazin yang harus disebar ke setiap rumah umat muslim untuk membisikin azan.
Kalau model azan bisik-bisik itu yang dipraktikkan, kan jadinya ndak ada pilihan selain muazin disebar ke setiap rumah ummat muslim untuk membisikan azan karena dari sononya muazin itu petugas memberi tahu sampai orang tahu, dari sisi sosial apa ndak tambah berabe jadinya?
Apa ndak khawatir ada perebutan di antara muazin saat memilih rumah yang akan dibisiki azan?
Kalau penulis, lebih setuju muazin bukan berbisik namun bersuara lantang di masjid memberi tahu waktu sholat sudah masuk dan memanggil ummat Islam menunaikan sholat untuk meraih kemenangan.
*
Tentu saja penulis tidak berani mengatakan kalau pengaturan volume azan dengan pengeras suara oleh Menteri Agama karena Menteri Agamanya tidak mengerti makna dan maksud azan.
Menteri Agama pastilah tahu. Beliau besar di pesantren. Beliau anak kandung seorang Kyai Besar NU, keponakan kandung mantan Rain Amm PBNU, dan adik kandung Ketua Umum PBNU. Jadi pastilah beda pemahaman Pak Guntur Romli dan Gus Yaqut Cholil Qoumas tentang azan.
Toh Menteri Agama juga hanya mengatur volume, bukan menyuruh azan berbisik, apalagi dalam hati.
Apa maksud dan tujuan Menteri Agama kok sempat-sempatnya mengeluarkan aturan pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid dan mushola, silakan dibaca dan didalami isi pengaturan tersebut. Membaca dan mempelajari pengaturan tersebut bagian dari membawa ke atas sebelum bicara.
Namun kalau mengenai omongan Pak Guntur Romli, lebih baik dimaklumi dan dimaafkan saja. Lha dari pernyataan beliau sudah ketahuan level ilmu seputar per-azan-an beliau.
Cukup beliau diberi tahu agar beliau belajar tentang azan, termasuk sejarahnya, sebagai bagian dari usaha membawa ke atas dan membawa ke bawah sebelum beliau sebagai tokoh publik menyampaikan sesuatu kepada publik.
Dan tidak ada salahnya juga memberi tahu beliau kalau mau bicara agama Islam itu, lebih baik nanya sana nanya sini dulu, baca sana baca sini dulu, googling sana googling sini dulu. Setelah itu baru bicara.
Tulisan ini bentuk ikhtiar penulis memberi tahu Pak Guntur Romli dan orang yang sepaham dengan beliau kalau azan itu bukan doa.
Azan itu penanda waktu sholat sudah masuk.
Azan itu merupakan panggilan kepada umat Islam untuk mendirikan sholat dan meraih kemenangan.
Jadi harus diusahakan terdengar oleh umat Islam itu, dimanapun mereka berada, sedang melakukan aktivitas apa pun, di sawah maupun di kantor. (*)