OLEH: JOHAN O. SILALAHI
SEKARANG ini seolah-olah sedang berkembang di Indonesia era pemerintahan dengan logika pendek akal. Seperti yang Kita ketahui bahwa berdasarkan hasil survei dan data statistik, tingkat kecerdasan intelektual (IQ) rata-rata bangsa Indonesia termasuk jajaran paling rendah di dunia.
Jika sungguh benar ada usulan dari rakyat Kita tentang perpanjangan masa jabatan 1-2-3 tahun atau 3 periode masa jabatan Presiden Jokowi, maka para Menteri serta para Ketua Umum Partai Politik harusnya bisa melakukan “filtering” atau penyaringan. Dengan logika sederhana sangatlah mudah merespon dan menjawab usulan rakyat tersebut agar tidak menjadi polemik nasional, bahwa itu melanggar konstitusi UUD 45 serta melanggar peraturan hukum dan perundang-undangan.
Jika semua usul rakyat walaupun sudah jelas melanggar konstitusi dan aturan hukum, masih saja diteruskan dan dibahas para elite pemimpin pada tingkat nasional, maka akibatnya yang terjadi adalah potensi “chaos” atau kekacauan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jika ada diantara rakyat kita yang mengusulkan supaya masa jabatan Presiden Jokowi diperpanjang jadi Presiden seumur hidup? Atau jika ada rakyat yang mengusulkan agar Jokowi dijadikan “Raja di Indonesia” dan mengubah bentuk negara Kita menjadi “Kerajaan”?
Atau jika ada rakyat yang mengusulkan agar Presiden Indonesia untuk seterusnya dijabat turun temurun dari Jokowi kepada anaknya, kemudian menantunya dan selanjutnya kepada cucu dan cicitnya sampai akhir zaman? Apakah semua usulan rakyat yang absurd dan inskonstitusional ini juga akan digulirkan dan disalurkan oleh para Menteri dan para Ketua Umum Partai Politik hingga menjadi polemik nasional?
Saya dan siapapun boleh saja menjadi pendukung Presiden Jokowi, tapi harus tetap mendukung secara rasional jangan sampai jadi irasional. Seperti yang terjadi sekarang ini dengan potensi menjerumuskan Jokowi agar menjadi pelaku kejahatan terhadap demokrasi dan pelanggaran konstitusi. Jika Jokowi melakukan hal yang baik dan benar untuk bangsa dan negara perlu kita dukung, tapi jika Jokowi berpotensi melenceng atau “off side”, maka Ia perlu Kita tegur dan ingatkan.
Sejarah bangsa dan negara kita akan kelam dan mencatat dalam “tinta merah” jika sampai terjadi Presiden Jokowi dan para pendukungnya melanggar konstitusi UUD 45, terkait perpanjangan masa jabatan Presiden. Jika pada era Jokowi bisa terjadi perpanjangan inkonstitusional masa jabatan Presiden, maka siapa yang bisa menjamin bahwa pemimpin Indonesia yang berikutnya tidak akan melakukan hal yang sama atau bahkan lebih mengerikan dan membahayakan bagi masa depan Indonesia?
Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 UUD 45, Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD dan tata cara pemilihannya diatur dalam undang-undang sesuai pasal 6A ayat 5 UUD 45. Kemudian dalam pasal 7 dinyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Semua aturan dan ketentuan ini sudah final dan mengikat secara mutlak, tidak bisa diutak-utik lagi oleh siapapun, kecuali dengan mekanisme konstitusional melalui amandemen UUD 45 oleh lembaga tinggi negara Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI.
Logika pendek akal yang sedang berkembang dalam pemerintahan sekarang ini, para Menteri dan para Ketua Umum partai politik pendukung Jokowi yang menggulirkan usulan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi, seolah-olah tidak memahami sama sekali konstitusi UUD 45 terkait aturan dalam pasal 7A, bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum.
Presiden Jokowi bisa dimakzulkan atau dipecat (impeachment), jika terbukti ikut serta dalam upaya inkonstitusional memperpanjang masa jabatannya dengan melanggar aturan yang telah ditetapkan dalam pasal 7 UUD 45.
Jika memang betul terjadi kegentingan yang memaksa atau terjadi peperangan dan kekacauan di negara Kita, sehingga tidak mungkin diselenggarakan Pemilu dan Pilpres, maka berdasarkan “interpretasi hukum” dan “penemuan hukum” terhadap aturan konstitusi UUD 45, maka pada saat persis habis masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, yang berlaku adalah aturan konstitusi yang diatur dalam pasal 8 UUD 45. Presiden dan Wakil Presiden diberhentikan oleh MPR RI karena sudah habis masa jabatannya.
Kemudian karena faktor kegentingan yang memaksa, MPR RI dapat bersidang untuk mengajukan perubahan atau amandemen terhadap konstitusi UUD 45 terkait aturan hukum bagaimana menetapkan Presiden dan Wakil Presiden yang baru, karena Presiden dan Wakil Presiden yang lama sudah habis masa jabatannya, sementara kondisi bangsa dan negara dalam keadaan genting atau dalam keadaan darurat akibat bencana atau perang, sehingga tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan Pemilu dan Pilpres sesuai perintah dan aturan dalam konstitusi UUD 45 dan peraturan perundang-undangan terkait.
Tentunya proses tersebut hanya bisa dijalankan dengan cara yang natural atau alamiah, sebagai respon atas keadaan kegentingan yang memaksa yang sedang terjadi di negara kita. Bukan seperti polemik yang sedang berlangsung seperti sekarang ini, bisa kita rasakan berbagai alasan yang dikemukakan seolah-olah sangat mengada-ada.
Jika ternyata ada alat bukti yang cukup dan memadai berupa rekaman ataupun kesaksian yang dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa Presiden Jokowi dan/atau Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin turut terlibat atau ikut merencanakan usulan perpanjangan masa jabatan 1-2-3 tahun atau 3 periode masa jabatan Presiden Jokowi, maka dapat diberlakukan aturan dalam pasal 7A dan 7B dalam UUD 45, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR RI atas usul DPR RI, karena terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap pasal 4 ayat (1), pasal 6A ayat (5), dan pasal 7 konstitusi UUD 45.
Konsekuensi hukum terkait usulan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi sekarang ini, sudah berubah menjadi “permainan yang sangat berbahaya” atau “dangerous game”, bagi bangsa dan negara Kita, khususnya bagi Presiden Jokowi dan rezim pemerintahannya. Karena pengajuan “impeachment” atau pemakzulan atau pemecatan Presiden Jokowi dan/atau Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin sudah bisa digulirkan oleh siapapun, jika memiliki bukti keterlibatan Presiden Jokowi dan/atau Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, atau bisa membuktikan adanya unsur-unsur keterlibatan mereka dalam usulan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi.
Pada era transparansi serta kecanggihan teknologi informasi dan teknologi penyadapan saat ini, maka ibarat menghitung hari, “impeachment” atau pemakzulan atau pemecatan terhadap Presiden Jokowi dan/atau Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin bisa saja terjadi setiap saat, jika saja ternyata terbukti benar adanya keterlibatan Presiden Jokowi. Sungguh aneh tapi nyata, seperti yang telah diberitakan oleh berbagai media nasional, Presiden Jokowi dengan tegas menolak dan menyatakan “ngawur” usulan perpanjangan masa jabatan Presiden.
Tapi anehnya, para Menteri terdekatnya serta para Ketua Umum Partai Politik pendukungnya, secara sistematis dan seperti dikoordinir, satu persatu menggulirkan usulan inkonstitusional ini. Apakah artinya wibawa Presiden Jokowi memang sudah tidak ada lagi di mata mereka, atau memang pernyataan Presiden Jokowi tersebut hanya basa-basi dan sandiwara belaka?
Pelajaran penting yang harus diingat selalu oleh para Menteri serta para Ketua Umum Partai Politik serta seluruh rakyat Indonesia, jangan “asal bunyi” dan terburu-buru menyalurkan usulan apapun yang sangat peka dan sensitif. Mereka wajib memahami sepenuhnya konstitusi UUD 45, serta harus selalu berhati-hati dalam berucap, bersikap dan bertindak, karena berdasarkan aturan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 45, negara Indonesia adalah negara hukum.
Serta berdasarkan aturan dalam konstitusi UUD 45, siapapun wajib patuh dan tunduk kepada hukum, tidak ada satu orangpun yang kebal hukum, termasuk Presiden Jokowi dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin. Jika ada diantara mereka yang masih tetap terus menggulirkan usulan inskonstitusional ini, maka bisa saja mereka diklasifikasikan oleh rakyat Indonesia sebagai “pengkhianat konstitusi” atau “pelaku kejahatan terhadap demokrasi” atau “penjahat demokrasi”. (*)