WANHEARTNEWS.COM - Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid terus menyuarakan keadilan bagi warga Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah.
Putri sulung Presiden ke-4 RI, Abdurahman Wahid alias Gus Dur itu menegaskan kebijakan negara seharusnya tidak mengorbankan kepentingan rakyat melainkan ditunjukkan untuk kemaslahatan orang banyak.
Alissa membayangkan jika saja ayahnya, Gus Dur masih hidup pasti tak akan tinggal diam melihat situasi ini.
“Kalau GusDur ya sudah sampai di desa Wadas. Seperti dulu beliau membela warga Kedung Ombo di masa Orde Baru,” katanya di Twitter, Jumat (11/2/2022).
Apa persamaan antara kasus Desa Wadas dan Kedung Ombo?
Dilansir dari ulasan akun Twitter Jaringan Gusdurian, Kisah Wadas dan Kedung Ombo memiliki kesamaan di mana petani harus terusir dari tanahnya yang begitu subur.
“Kisah #WadasMelawan mengingatkan Gusmin pada kisah bendungan Kedung Ombo yang menggenangi tiga kabupaten,” tulis akun tersebut.
Dikisahkan pada 14 Januari 1989, warga kelabakan. Perlahan-lahan volume air mulai meninggi, menggenangi kampungnya. Tingginya tak lagi beberapa milimeter, karena sudah sampai semata kaki.
Warga pun berhamburan mencari perlindungan. Mereka berlari ke tempat yang lebih tinggi.
Beberapa waktu sebelumnya, utusan negara mendatangi warga. Mereka dipaksa pindah dengan uang ganti rugi yang sangat merugikan. Beberapa tak punya pilihan karena melawan sama dengan dicap PKI.
Warga yang bertahan adalah warga yang merasa bahwa tanah subur itu harus diperjuangkan. Mereka adalah petani.
Namanya petani, hidup dari bertani. Jika lahan sesubur itu ditenggelamkan, bagaimana nasib ke depan?
Apalagi utusan negara tidak membawa kabar baik bagi keberlangsungan masa depan. Konon, Bank Dunia mengucurkan dana yang besar untuk ganti rugi.
Namun ternyata dana itu diselewengkan. Beberapa warga yang bertahan pun melawan via pengadilan (dengan hasil yang sudah diprediksi: kalah)
Warga yang kalah mau tak mau harus angkat kaki. Banyak di antara mereka berlinang air mata saat menyaksikan air menggenangi kampung halaman secara perlahan. Berselang beberapa hari, atap rumah mereka bahkan sudah tak lagi terlihat.
Pembangunan waduk Kedung Ombo seluas 5.898 hektar itu menelan 37 desa di 7 kecamatan wilayah Kabupaten Grobogan, Boyolali, dan Sragen.
Bendungan ini mengairi kampung halaman 30.000 orang. Bagi Presiden Soeharto, pembangunan ini untuk rakyat.
“Penolak pembangunan pun disebutnya disusupi komunis sehingga KTP-nya diberi tanda ET (eks tapol), tanda yang membuat siapa saja kehilangan hak-haknya sebagai warga negara. Padahal, warga tidak tahu menahu terkait komunisme. Mereka hanya mempertahankan apa yang dimiliki,” terang Gusdurian.
Beberapa tahun yang lalu, admin Gusdurian juga sempat berkunjung ke salah satu rumah warga.
Mereka masih fasih menceritakan bagaimana proses penenggelaman kampung.
Mereka juga bercerita bagaimana Gus Dur, Romo Mangun, dan tokoh lain membantu memulihkan mental.
Di tengah kondisi yang sulit, tokoh lintas agama membersamai rakyat yang tergusur.
Mereka bahu membahu membantu membangun tempat ibadah.
Seorang Romo bahkan memfasilitasi warga untuk mengaji dengan mengajak teman kiainya untuk mengajar di kampung tersebut.
Bantuan hukum juga dilakukan. Warga yang bertahan adalah warga yang tidak menerima ganti rugi sesuai kesepakatan.
Ternyata, uang ganti rugi itu diselewengkan. Dengan jumlah sekadarnya, warga dipaksa menerima atau dicap komunis!
“Gus Dur menolak stigma itu dan terus menyuarakan agar pemerintah tidak berbuat sekenanya. Untuk berterima kasih, terutama kepada Gus Dur yang berani berhadapan dengan Orde Baru, sebuah jembatan di kampung diberi nama ‘jembatan Gus Dur’,” ungkapnya.
Harapan itu muncul saat Gus Dur menjabat sebagai presiden. Sayangnya Gus Dur hanya beberapa bulan menjabat. Meski demikian, warga tak patah arang.
Mereka terus mengupayakan agar hak-haknya dipenuhi oleh negara. Sembari mereka harus tetap menjalani kehidupannya.
Beberapa tahun yang lalu, warga berhasil membangun masjid pertama di kampung.
Gusmin bersama rombongan turut menyerahkan donasi dari para dermawan guna membuat sumur untuk sesuci dan dikonsumsi warga. Banyak warga yang masih trauma dengan kisah puluhan tahun silam.
Mereka sampai tidak mau mengonsumsi air bendungan yang melimpah ruah tepat di hadapannya.
“Di tengah sulitnya mencapai cita-cita swasembada pangan, para petani justru terus menjadi korban atas nama pembangunan,” pungkasnya. fajar