WANHEARTNEWS.COM - Seorang wartawan Selandia Baru yang sedang hamil dan mengatakan ia meminta bantuan kepada Taliban setelah tidak bisa pulang telah mendapat izin untuk kembali ke negara asalnya.
Charlotte Bellis berkata ia terbang ke Afghanistan setelah tidak bisa mendapatkan tempat di fasilitas karantina, di bawah aturan pembatasan Covid yang ketat di Selandia Baru.
Kisah Bellis menyoroti ketatnya langkah-langkah pengamanan Wellington di perbatasan, yang dirancang untuk mencegah penyebaran virus corona.
Namun beberapa orang mempermasalahkan hubungannya dengan Taliban, yang disebut sebagai sebuah privilege atau keistimewaan.
Taliban kerap dikritik atas pembatasan hak-hak perempuan secara brutal dalam beberapa bulan terakhir. Mereka telah dituduh menangkap, menyiksa, dan bahkan membunuh aktivis perempuan.
Pada Selasa (01/02), menyusul perhatian publik yang besar pada kasus ini, pemerintah Selandia Baru menyatakan mereka telah menawarkan tempat karantina kepada Bellis dan mengatur penerbangan.
"Ada tempat bagi Bellis dalam fasilitas isolasi dan karantina yang dikelola [pemerintah] dan saya meminta agar ia segera mengambilnya," kata Wakil Perdana Menteri Grant Robertson kepada wartawan pada taklimat harian Covid.
Ia membantah tindakan tersebut merupakan akibat dari perhatian publik pada kasus Bellis, dan mengatakan bahwa para staf menangani permintaan darurat setiap hari.
"Mereka selalu berusaha membuat kontak dengan orang-orang dan berusaha membuat pengaturan yang efektif."
Pemerintah Selandia Baru sebelumnya mengatakan telah dua kali menawarkan bantuan konsuler kepada Bellis, yang menulis tentang pengalamannya di sebuah surat kabar nasional pada hari Sabtu (29/01).
Apa yang diminta Charlotte Bellis kepada Taliban?
Dalam kolomnya untuk New Zealand Herald, Bellis bercerita bahwa pemerintah pekan lalu menolak permintaannya untuk pulang ke Selandia Baru untuk melahirkan.
Saat ini, Wellington membolehkan warga dan penduduk tetap untuk masuk, tetapi hanya jika mereka melakukan isolasi mandiri selama 10 hari di hotel karantina.
Karena ada permintaan yang tinggi untuk fasilitas tersebut dan jumlah tempat yang terbatas, sudah sekitar dua tahun belakangan ini banyak warga Selandia Baru tidak bisa kembali ke negara asal mereka.
Ia membandingkan pengalaman itu dengan bagaimana ia diperlakukan oleh Taliban, yang ia hubungi untuk menanyakan apakah ia akan diterima di Afghanistan sebagai perempuan hamil yang belum menikah.
Ketika ia berbicara dengan seorang pejabat senior Taliban, Bellis sedang berada di Belgia bersama pasangannya, seorang jurnalis foto asal Belgia. Namun, masa berlaku visanya hampir habis karena ia bukan penduduk di sana.
Satu-satunya visa yang dimilikinya dan pasangannya adalah Afghanistan, karena mereka pergi ke sana tahun lalu untuk meliput penarikan pasukan AS.
"Anda boleh datang dan tidak akan ada masalah. Cukup beri tahu orang-orang bahwa Anda sudah menikah dan jika terjadi eskalasi, hubungi kami," kata Bellis mengutip pernyataan pejabat yang tidak disebutkan namanya itu ketika menanggapi permintaannya.
"Ketika Taliban menawarkan Anda - seorang perempuan hamil yang belum menikah - tempat yang aman, Anda tahu situasi Anda lagi kacau," tulisnya.
Para ibu tunggal di Afghanistan dilaporkan kerap dilecehkan oleh pejabat Taliban, ditekan untuk menyerahkan anak-anak mereka, dan hak asuh mereka diancam akan dicabut.
Apa respons dari tulisan kolomnya?
Setelah surat Bellis diterbitkan, pihak berwenang Selandia Baru diminta untuk menyesuaikan kriteria alokasi karantina darurat agar secara khusus melayani perempuan hamil.
Pihak berwenang membela kebijakan itu pada Senin kemarin, mengatakan sistem tersebut telah "melayani Selandia Baru dengan sangat baik, menyelamatkan nyawa dan menekan angka perawatan di rumah sakit, serta menjaga sistem kesehatan kita agar tidak kewalahan".
Pemerintah juga mengatakan Bellis telah disarankan untuk kembali mengajukan permohonan visa di bawah kategori darurat yang lain.
Tidak jelas apakah itu yang terjadi, atau apakah ia sekarang diberikan izin masuk berdasarkan permohonan awalnya.
Bellis mengatakan bahwa ia juga telah ditawari suaka di negara lain yang tidak disebutkan namanya sejak go public dengan kesulitannya.
Namun, ceritanya juga mendapat kritik dari beberapa pengamat, aktivis hak asasi manusia, dan warga Afghanistan sendiri.
"Ceritanya hanyalah kelanjutan dari bagaimana orang-orang non-Afghanistan diperlakukan berbeda oleh Taliban ... daripada orang Afghanistan," kata jurnalis Austria-Afghanistan Emran Feroz dalam sebuah twit.
"Wartawan yang dipandang sebagai warga Afghanistan kerap menghadapi ancaman, pemukulan, penyiksaan, dan pembunuhan sementara orang-orang non-Afghanistan ... mendapat banyak hak istimewa serta disambut dan diperlakukan dengan lembut oleh semua pihak," tambahnya.
Baru-baru ini, ada desakan pada Taliban agar membebaskan sejumlah aktivis hak-hak perempuan yang belum terlihat setelah rumah mereka digerebek dan mereka ditangkap. (bbc)