Anggota Komisi XI DPR RI Marwan Cik Asan bahkan meminta Sri Mulyani segera turun tangan memastikan dana tersebut agar tidak terlalu mengendap. Sebab dana tersebut diperuntukkan bagi pemerataan ekonomi.
“Menkeu memiliki kewajiban dalam kepentingan pelaksanaan tugas layanan umum negara, termasuk pengelolaan dan penggunaan dana transfer daerah,” katanya kepada wartawan, Jumat (25/2).
Menurut Marwan, Sri Mulyani sebagai bendahara umum negara mempunyai peran sebagai CFO (Chief Financial Officer) dengan segala konsekuensinya. Sebagai CFO dan Bendahara Umum Negara, memastikan pengelolaan dan penggunaan dana transfer ke daerah merupakan bagian dari kewajibannya.
“Jika realisasinya dana hanya mengendap di bank, daerah tidak bisa mendapatkan keuntungan maksimal. Karena itu, Menteri Keuangan harus turun tangan dan berupaya agar dana transfer ke daerah itu tidak mengendap di perbankan,” tegas Sekretaris Fraksi Partai Demokrat.
Sebagaimana disampaikan Sri Mulyani, dana mengendap mengalami kenaikan sebesar Rp 44,59 triliun atau 39,33 persen dari posisi bulan Desember 2021. Jika dibanding bulan Januari 2021, ada kenaikan Rp 24,46 triliun atau 18,32 persen (yoy). Dana ini merupakan posisi tertinggi di bulan Januari dibanding 3 tahun sebelumnya.
Marwan menilai, fakta ini juga menunjukkan ironi dalam pengelolaan keuangan negara. Karena di satu sisi pemerintah pusat telah melonggarkan batasan defisit APBN lebih 3 persen untuk melaksanakan program pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid 19, namun di sisi lain pemerintah daerah mengendapkan dana transfer daerah di perbankan.
“Dari sisi manajemen, kas tentu menjadi masalah ketika penyediaan dana untuk membiayai transfer ke daerah dibiayai dari penerbitan utang dengan biaya mahal, sementara pemerintah daerah hanya mengendap di perbankan dengan mengharapkan bunga yang lebih rendah,” paparnya.
Dalam postur APBN, alokasi dana transfer ke daerah telah mencapai sepertiga dari total belanja pemerintah. Karena itu belanja pemda merupakan pemicu pertumbuhan ekonomi serta daya saing daerah.
“Lah, kalau diendapkan, bagaimana manfaat ekonomi akan dirasakan masyarakat? Dalam situasi sulit karena pandemi seperti ini, harusnya masalah tersebut menjadi perhatian sangat serius,” kata Marwan lagi.
Ditambahkan Marwan, pemerintah harus menempuh berbagai untuk mengatasi peningkatan dana yang mengendap di perbankan. Misalnya, membuat aturan pembatasan atau jumlah maksimal dana pemerintah daerah yang dapat ditempatkan dalam deposito, sebagaimana pernah direncanakan pada tahun 2014 lalu.
“Harus juga tegas, tegakkan aturan dan sanksi kepada pemda yang mengendapkan dana transfer dari pusat dengan mengurangi penyaluran atau jika perlu, penghentian transfer tahun berikutnya. Itu juga yang harus dilakukan jika daerah tidak menyerap anggaran dengan baik. Berikan penghargaan pada daerah yang patuh dan tepat waktu dalam merealisasikan dana transfer tersebut,” tegasnya.
Marwan juga mengingatkan perihal kapasitas birokrasi dan prosedur yang masih tergolong panjang di daerah dalam pengelolaan dan penggunaan uang ini. Dalam hal ini, Kemenkeu bersama Kemendagri harus dapat membantu pemda untuk meningkatkan kapasitas dan pendampingan birokrasi daerah.
“Kita juga berharap, dengan disahkannya UU HKPD, pengelolaan dana transfer ke daerah akan mengedepankan aspek kinerja sehingga dapat memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan di daerah, sekaligus mendorong tanggung jawab daerah dalam memberikan pelayanan yang lebih baik secara efisien dan disiplin,” tandasnya.
Sumber: RMOL