WANHEARTNEWS.COM - Setelah dipenjara hampir selama 20 tahun di Teluk Guantanamo, Mohammad Mani Ahmad al-Qahtani, seorang pria Arab Saudi yang ditahan karena diduga mencoba ikut andil dalam serangan teroris 9/11 telah dibebaskan dan dipulangkan kembali ke negaranya.
Pengumuman pembebasan Al-Qahtani yang saat ini berusia 46 tahun itu diumumkan Departemen Pertahanan AS mengumumkan pada Senin (7/3) waktu setempat, setelah menganggap pemenjaraannya “tidak lagi diperlukan untuk melindungi dari ancaman signifikan yang berkelanjutan terhadap keamanan nasional Amerika Serikat.”
Setelah memberi tahu Kongres pada hari Jumat tentang keputusan untuk memulangkan al-Qahtani, dia akhirnya dikirim kembali ke Arab Saudi untuk menerima perawatan kesehatan mental.
“Amerika Serikat menghargai kesediaan Arab Saudi dan mitra lainnya untuk mendukung upaya AS yang sedang berlangsung menuju proses yang disengaja dan menyeluruh yang berfokus pada pengurangan populasi tahanan secara bertanggung jawab dan akhirnya penutupan fasilitas Teluk Guantanamo,” kata Departemen Pertahanan dalam pernyataannya, seperti dikutip dari AFP, Selasa (8/3).
Al-Qahtani ditahan di Teluk Guantanamo sejak Juni 2002 setelah dituduh berniat mengambil bagian dalam serangan teroris 11 September 2001 sebagai pembajak. Satu bulan sebelum 9/11, Al-Qahtani telah mencoba memasuki AS dari Dubai tetapi ditolak masuk di tengah kecurigaan bahwa dia adalah seorang migran ilegal.
Selama ditahan, Al-Qahtani dilaporkan mengalami penyiksaan, termasuk pemukulan, pelecehan seksual, kurang tidur, dan dipaksa untuk tetap dalam posisi yang tidak nyaman selama penahanannya di Teluk Guantanamo. Dia kemudian didiagnosis dengan skizofrenia dan gangguan stres pasca-trauma, dan disiksa begitu hebat sehingga dia dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk diadili di AS.
Menurut Departemen Pertahanan, ada 38 tahanan yang tersisa di Teluk Guantanamo – 19 di antaranya memenuhi syarat untuk dipindahkan, sementara tujuh memenuhi syarat untuk ditinjau.
Pengacara Al-Qahtani, Shayana Kadidal, memuji pembebasan kliennya.
“Selama 14 tahun saya duduk di seberang Mohammed saat dia berbicara dengan orang-orang yang tidak ada di ruangan itu dan melakukan kontak mata dengan dinding – sesuatu yang menjadi bagian dari hidupnya sejak remaja,” ujarnya.
“Sungguh melegakan bahwa saat berikutnya suara-suara di kepalanya menyuruhnya menelan seteguk pecahan kaca, dia akan berada di fasilitas psikiatri, bukan penjara,” kata Kadidal.
Sumber: rmol