Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron menyambut baik atas terbitnya Surat Edaran (SE) Menpan RB 07/2022 tentang Penguatan Integritas Aparatur Negara dalam Area Rawan Korupsi.
"Terus terang saya senang membaca SE ini. Karena setahu saya, itu adalah surat pertama yang mengingatkan tiap instansi, dari pimpinan sampai yang baru lulus CPNS, supaya lebih aktif mendukung dan mengikuti pelaksanaan SPI," ujar Ghufron kepada wartawan, Rabu (23/3).
SE yang diterbitkan awal Maret lalu itu kata Ghufron, ditujukan untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) di semua kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah (pemda). MenPAN RB meminta semua ASN memperhatikan hasil SPI sebagai masukan tata kelola pemerintahan yang bersih dari korupsi.
SPI sendiri merupakan survei yang digelar KPK untuk memotret integritas sebuah lembaga pemerintah melalui tiga sumber; pegawai di lembaga tersebut (internal), publik yang pernah berhubungan atau mengakses layanan lembaga tersebut (eksternal), dan dari kalangan ahli (ekspert).
Ghufron menjelaskan, sangat penting bagi kementerian lembaga dan pemda untuk menjadikan indeks integritas yang dihasilkan SPI sebagai indikator seberapa bersih instansi mereka dari korupsi.
Selain menghasilkan indeks integritas, SPI juga memberikan rekomendasi apa saja yang bisa dilakukan untuk menambal celah kebocoran korupsi di organisasi terkait.
"Kami desain SPI ini jadi one stop sollution, yang menginformasikan ada kebocoran di titik mana saja, sekaligus cara untuk menambalnya," kata Ghufron.
Senada dengan MenPAN RB, KPK juga mengingatkan bahwa SPI memberi manfaat praktis bagi kementerian lembaga dan pemda yang mendapat skor penilaian baik. Yaitu, penambahan anggaran tunjangan kinerja setiap tahunnya, dimulai dari tahun 2021 lalu.
Ghufron memaparkan, dalam Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB), 60 persennya dinilai dari manajemen perubahan, penataan tata laksana, pelayanan publik, penguatan pengawasan, akuntabilitas kinerja, manajemen SDM, serta pemenuhan dan reform.
Sisanya 40 persen, dinilai lewat SPI, capaian kinerja, dan survei persepsi pelayanan publik. Dari jumlah 40 persen itu, SPI menyumbang bobot 13 persen.
Di sisi lain, Ghufron menyadari sebuah perubahan biasanya tidak bisa dilakukan sekaligus dan biasanya memerlukan waktu lama. Apalagi, mengubah mental dan kebiasaan yang tadinya berkaitan dengan tindakan koruptif, menjadi budaya yang berintegritas, transparan dan akuntabel, serta taat hukum.
Oleh karena itu, dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), target skor indeks integritas juga bertahap. Dalam RPJMN 2020-2024, target indeks integritas SPI pada 2021 sebesar 70, lalu pada 2022 sebesar 72, di tahun depan 2023 sebesar 74 dan tahun 2024 ditargetkan sebesar 76.
Namun, dengan komitmen kuat bersama, Ghufron optimis Indeks Integritas Nasional yang dihasilkan SPI nanti bisa melampaui target-target tersebut. Hal itu sudah dimulai dari Indeks Integritas Nasional 2021 sebesar 72,4, yang lebih tinggi dari target RPJMN.
Pada 2021, SPI melibatkan lebih dari 250 ribu responden dan dilakukan terhadap 98 Kementerian/Lembaga, 34 Pemerintah Provinsi, dan 508 Pemerintah Kabupaten/ Kota.
SPI 2021 juga menyajikan hasil yang cukup memprihatinkan. Yaitu, para responden meyakini praktik suap dan gratifikasi dapat ditemui di 99 persen instansi peserta survei.
Lalu mereka juga yakin, perdagangan pengaruh atau trading in influence terjadi di 99 persen instansi. Kemudian, para responden juga meyakini terjadinya penyalahgunaan fasilitas kantor terjadi di 99 persen instansi.
Lebih memprihatinkan, responden meyakini ada penyalahgunaan barang dan jasa di seluruh instansi. Atau, 100 persen institusi yang disurvei KPK menjadi tempat terjadinya tindak pidana korupsi penyalahgunaan barang dan jasa.
"Tapi kalau mau jujur-jujuran, sebenarnya kita tidak perlu kaget dengan temuan itu. Soalnya, sejak 2004-2021, penyuapan menjadi perkara tindak pidana korupsi terbanyak yang ditindak KPK," terang Ghufron.
Berdasarkan catatan KPK sejak 2004-2021, penyuapan ada sebanyak 791 perkara, lalu pengadaan barang dan jasa sebanyak 284 perkara, dan penyalahgunaan anggaran sebanyak 50 perkara.
SPI 2021 juga mengungkap, dari seluruh kelompok instansi, Indeks Integritas Lembaga menjadi yang tertinggi dengan skor 81,9. Disusul kementerian 80,3, lalu pemkot 71,9, pemkab 70,21, dan pemprov 69,3.
Dari situ terlihat, Indeks Integritas pemkot, pemkab, dan pemprov masih di bawah Indeks Integritas Nasional 72,43 dan di bawah target Bappenas yaitu 70.
Rendahnya nilai Indeks Integritas untuk pemerintah daerah, juga tercermin dari banyaknya perkara yang ditangani KPK sejak 2004-2021. Yakni ada sebanyak 158 perkara korupsi di pemerintah provinsi dan 483 perkara korupsi di pemkab-pemkot.
Menurut Ghufron, KPK menggunakan prinsip one is too many dalam menganalisis hasil SPI. Artinya, setiap responden yang menyatakan melihat atau mendengar adanya kejadian korupsi di instansinya, akan diberikan bobot yang tinggi pada jawabannya.
"Prinsipnya begini, korupsi itu merupakan kejahatan yang tersembunyi, seperti gunung es. Jadi jika ada satu saja responden yang berani mengungkapkan kejadian korupsi di instansinya, itu adalah sinyal bahwa fakta kejadian korupsi bisa lebih banyak daripada fakta yang diungkapkan oleh sebagian kecil responden," jelas Ghufron.
Pada tahun ini, KPK akan kembali menggelar SPI, yang rangkaian kegiatannya akan dimulai pada bulan Juni. Tahun 2022 ini, jumlah responden SPI akan bertambah menjadi lebih dari 300 ribu orang.
Ghufron berharap, responden SPI akan memberi jawaban yang sebenar-benarnya jika memang terjadi praktik korupsi di instansi mereka. Misalnya, jika mengetahui atau bahkan melihat langsung adanya praktik jual beli jabatan, penyuapan, gratifikasi, atau petugas yang tidak profesional saat melakukan pelayanan publik.
"Supaya SPI ini bisa mendapat gambaran masalah yang memang riil terjadi di instansi peserta survei. Sehingga KPK juga bisa memberikan rekomendasi yang sesuai dengan masalah yang terjadi," tutur Ghufron.
Karena kata Ghufron, jika peserta survei tidak mengisi jawaban dengan benar, maka rekomendasi yang diberikan KPK nantinya juga tidak bisa menyelesaikan persoalan yang ada di instansi tersebut. Pada akhirnya, tujuan SPI sebagai salah satu upaya mencegah korupsi tidak terlaksana.
Ghufron mengibaratkan, SPI sebagai alarm anti-maling. Karena, tidak mungkin pemilik rumah akan diam saja jika mengetahui ada maling yang menerobos rumahnya.
Begitu juga terhadap ASN di setiap kementerian lembaga, mereka diharapkan mau merespon dengan serius terhadap masukan yang menyebut masih ada praktik korupsi di lembaganya.
"Kan repot kalau diagnosa penyakitnya tidak benar, resep yang diberikan juga akan jadi ngawur. Bukannya perbaikan pencegahan antikorupsi yang terjadi, tapi nanti kami malah datang ke instansi Bapak Ibu untuk melakukan penangkapan," ucap Ghufron.
Selain SPI, KPK juga menyediakan sistem pencegahan korupsi lainnya yaitu Monitoring Center for Prevention (MCP). Jika SPI dikerjakan bersama dengan Biro Pusat Statistik (BPS), MCP dibuat bersama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Ghufron optimis jika suatu instansi mendapat skor yang baik untuk keduanya, korupsi bisa ditekan di organisasi tersebut.
"Karena memang prinsipnya sederhana saja. Kalau suatu instansi mendapat nilai SPI dan MCP bagus, tidak akan terjadi Operasi Tangan Tangan (OTT) di sana. Prinsip itu sesuai dengan KPK yang saat ini juga fokus dalam pencegahan, tidak hanya penindakan. Sehingga bukan berarti jika tidak ada penangkapan koruptor, KPK tidak bekerja," terang Ghufron.
Namun pada akhirnya, integritas individu kata Ghufron, menjadi pertahanan terakhir dari godaan korupsi. Meski sistem tata kelola pemerintahan sudah transparan dan ancaman pidananya juga besar, korupsi akan tetap terjadi jika pribadi orang tersebut tidak berintegritas.
"Yang perlu diingat juga, karena KPK fokus pencegahan bukan berarti kami tumpul. KPK tetap siap menggebuk maling-maling duit rakyat, supaya para pelaku jera dan kita bisa memulihkan keuangan negara dengan optimal," pungkas Ghufron.
Sumber: RMOL