WANHEARTNEWS.COM - Rusia terus menebar ancaman. Tak hanya ke Ukraina, tetapi juga ke negara-negara Barat. Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak mengancam bakal menghentikan suplai gas di pipa utama yang menuju ke Jerman, jika negara-negara Barat melanjutkan aksinya. Yaitu, melarang pembelian minyak mentah milik Rusia.
’’Menolak minyak Rusia akan memicu konsekuensi berupa bencana pada pasar global dan menyebabkan harga minyak melambung hingga USD 300 (Rp 4,3 juta) per barel,’’ ujarnya kemarin (8/3) seperti dikutip BBC. Padahal, saat ini saja harga minyak sudah tembus Rp 2 jutaan per barel gara-gara perang Rusia-Ukraina.
Sekitar 40 persen gas dan 30 persen kebutuhan minyak di negara-negara Uni Eropa disuplai oleh Rusia. Jika mereka tiba-tiba harus menghentikan pembelian, bakal sulit menemukan negara besar yang bisa menggantikan suplai tersebut. Karena itulah, Jerman dan Belanda sudah menolak ide yang digulirkan Amerika Serikat tersebut.
Bulgaria menyusul dengan menyatakan tidak mampu jika harus menghentikan impor minyak dan gas Rusia. PM Bulgaria Kiril Petkov mengungkapkan bahwa 77 persen suplai gas alam di negara itu berasal dari Gazprom milik Rusia. Kilang minyak satu-satunya di negara tersebut adalah milik Lukoil, perusahaan asal Rusia. Petkov mendukung sanksi penuh terhadap Rusia dan akan ikut merealisasikannya.
’’Tapi, satu hal yang kami tidak mampu adalah menghentikan impor minyak dan gas (Rusia),’’ ujarnya seperti dikutip Agence France-Presse.
Iain Conn, mantan petinggi perusahaan gas milik Inggris Centrica, mengungkapkan bahwa perdagangan gas alam tidak sebebas minyak. Karena itu, bakal sangat sulit menggantikan suplai gas asal Rusia dengan negara lain. Gas dialirkan dengan pipa-pipa khusus dari satu negara ke negara lain. Pipa-pipa tersebut tidak bisa dibangun dalam 1–2 pekan. Berbeda dengan minyak yang bisa diangkut begitu saja dengan tanker. Karena itu, ancaman Rusia bisa jadi bencana bagi Eropa.
AS sepertinya harus jalan sendirian dengan idenya. Pejabat AS akhir pekan lalu bertandang ke Karakas, Venezuela, untuk membahas tentang suplai energi. Venezuela diharapkan bisa menggantikan posisi Rusia sebagai penyuplai minyak meski tidak sepenuhnya.
Belum diketahui apakah itu berhasil. Sebab, Venezuela memutuskan hubungan dengan AS pada 2019 lalu akibat sanksi pelanggaran HAM. Penghapusan sanksi itu juga dibahas dalam pertemuan terbaru. Tapi, sepertinya jalan bagi AS bakal sulit. Sebab, Maduro satu di antara sedikit tokoh internasional yang mendukung Presiden Rusia Vladimir Putin di tengah invasi ke Ukraina.
Negara-negara Amerika Latin memang tak dekat dengan AS dan lebih condong ke Rusia. Terlebih, banyak di antaranya yang pernah disanksi oleh Negeri Paman Sam tersebut. ’’Pemerintah AS menentukan sendiri siapa yang jahat dan siapa yang baik, pun mereka pula yang memutuskan kapan si jahat jadi baik,’’ kritik Presiden El Salvador Nayib Bukele yang skeptis terhadap motif AS.
Jika AS dan negara-negara lain masih negosiasi atas sanksi impor minyak Rusia, tidak demikian dengan Shell. Perusahaan yang berbasis di Inggris itu justru memutuskan menghentikan sepenuhnya pembelian minyak mentah dari Rusia. Mereka juga akan menutup seluruh SPBU di sana. Pekan lalu mereka sudah mengumumkan untuk menghentikan investasi di Negeri Beruang Merah tersebut.
Situasi di Ukraina terus memburuk. Korban tewas terus berjatuhan. PBB mencatat setidaknya ada 406 penduduk sipil Ukraina yang tewas dan 801 lainnya terluka, sejak invasi Rusia 24 Februari lalu. Tapi, jumlah di lapangan bisa jadi lebih banyak. Kemarin saja setidaknya 21 warga sipil tewas dalam serangan udara di Sumy. Dua di antaranya adalah anak-anak.
WHO mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan serangan ke rumah sakit, ambulans, dan fasilitas medis lainnya. Saat ini berbagai kota di Ukraina sudah kekurangan oksigen. Termasuk produk yang terkait dengan darah, insulin, dan berbagai obat lainnya. Jumlah pengungsi Ukraina saat ini sudah tembus 2 juta orang.
Sumber: jawapos