LOGO HALAL MUI
Oleh: Dr. Moeflich Hasbullah (Pakar Sejarah, Dosen UIN Bandung)
Beranda FB saya seharian ini dipenuhi oleh berita, komentar, kritik dan ketaksetujuan logo halal MUI diganti. Heboh lagiii... Saya mikir apa sebabnya kontroversi dan kehebohan ini.
Ketemu tiga jawabannya:
Pertama, tak ada angin tak ada hujan, tiba² logo Halal MUI diganti. Memang apa masalahnya selama ini? Logo itu bermasalah? Mengapa harus diganti? Itu sumber kehebohan pertama. "Ketiadaan masalah" sebelumnya ini menimbulkan persepsi seperti yang "tak ada kerjaan," berbuat sesuatu yang tak perlu.
Kedua, digantinya bukan oleh "lebih bagus" tapi oleh yang kontroversial. Kejelasan tulisan Arab "halal" hilang diganti khat kufi yang persepsional jadi dibaca macam², sampai banyak ahli khat yang mengulasnya dan berkesimpulan tulisan itu tidak berarti "halal," tulisan MUI-nya hilang, warna latar hijau yang sejuk hilang. Kemudian bentuknya yang gugunungan dalam wayang, menyambungkan ingatan publik pada heboh sebelumnya ada wayang menyerang ulama. Gugunungan itu pun dipersepsi sebagai Jawanisasi atau Jawa sentris, tak menyimbolkan nasional. Akhirnya, banyak posting perlawanan membuat logo halal Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dll. Ini tentu saja lucu 😄.
Ketiga, yang menggantinya Kemenag bukan MUI. Kalau MUI mungkin tidak akan terlalu kontroversial, apalagi oleh yang lebih bagus. Kemenag yang di mata publik selama ini dirasakan sering membuat kegaduhan, tiba-tiba mengganti logo yang tak ada angin tak ada hujan, itu dirasakan publik membuat masalah lagi dalam psikologi Kemenag dengan MUI seperti "tidak harmonis."
Paling tidak itu peta psiko-sosiologisnya. Saya sendiri, senang mengamati simbol, logo dan lambang, bahkan sering membuat sendiri. Mata saya memang lebih sejuk memandang logo halal yang lama yang seragam dgn logo-logo halal se Asia Tanggara.
(fb)