"Power Game"
Oleh: Erizal
Istilah di atas saya comot dari podcast Deddy Corbuzier yang menghadirkan Luhut Binsar Panjaitan, kemarin. Seorang Luhut sangat ditunggu kemunculannya karena disebut-sebut orang yang bertemu dengan ketua parpol, yang kemudian secara bergelombang mengusulkan penundaan Pemilu barang dua atau tiga tahun.
Agak di tengah acara, istilah "power game" ini disebut Luhut. Katanya, politik itu adalah power game. Berarti, seorang Luhut mengartikan politik itu sebagai permainan kekuatan atau permainan kekuasaan. Karena, Luhut saat ini termasuk salah seorang yang berkuasa, maka inilah yang tengah dimainkan oleh Luhut dan lingkarannya.
Di awal podcast, terasa membosankan. Tak hanya Luhut, tapi juga Deddy. Cengengesan om Deddy, bukan lagi memperlihatkan rasa hormat, tapi hampir-hampir sampai pada level menjilat. Tanya-jawab soal penundaan Pemilu terasa begitu menjemukan. Ada yang menolak dan mendukung, dibikin seolah-olah berimbang.
Saat istilah power game ini disebut oleh Luhut, barulah pembicaraan di awal tadi, yang terasa membosankan itu, menemukan "benang biru". Ternyata, perihal penundaan Pemilu dan segala tema seputar itu, termasuk Jokowi 3 periode, hanya power game. Tak ada benar-salah. Mau atau tidak mau. Semua sedang dimainkan.
Pernyataan Luhut bahwa Pemilu membutuhkan biaya seratusan triliun, seolah-olah itu hanya uang sia-sia, hanya buat dihambur-hamburkan. Buat apa? Ini masih pandemi, ekonomi sedang sulit. Reaksi Deddy mendengar pernyataan itu membuat perut saya "maloyo", entah kenapa? Seolah-olah benar dan dibenar-benarkan. Wak.
Ekonomi sulit, kok masih ada orang yang puas dengan kinerja Jokowi, ya? Puas dikaitkan pula dengan penundaan Pemilu atau tiga periode? Dikaitkan pula dengan demokrasi. Kalau rakyat menghendaki, dll. Yang hidup di era terakhir masa lengser Soeharto, tak cuma maloyo mendengar kalimat itu, tapi juga "manggariti", geram, dan marah.
(*)