WANHEARTNEWS.COM - Pengujian ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang diajukan Partai Ummat diputuskan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Keputusan tersebut dibacakan Wakil Ketua MK Aswanto dalam Sidang Putusan perkara Nomor 74/PUUVIII/2020 bertanggal 14 Januari 2021, di Ruang Sidang Pleno MK, Jalan MEdan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (29/3).
"Berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-VIII/2020 tersebut di atas maka partai politik yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik yang sudah pernah menjadi peserta pemilihan umum sebelumnya," jelas Aswanto.
Karena Partai Ummat selaku pemohon gugatan merupakan partai baru yang belum terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), maka Aswanto menegaskan bahwa Mahkamah menjadikan itu sebagai pertimbangan dalam putusannya yang teregistrasi sebagai Putusan Nomor 11/PUU-XX/2022.
"Mahkamah partai a quo belum dapat dinyatakan sebagai partai politik peserta Pemilihan Umum sebelumnya, sehingga dengan demikian tidak terdapat kerugian konstitusional Pemohon dalam permohonan a quo," imbuhnya menegaskan.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
"Meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan," demikian Aswanto.
Pada sidang pendahuluan yang lalu, Partai Ummat selaku pemohon mendalilkan bahwa Pasal 222 UU Pemilu bukanlah open legal policy dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945.
Menurut Pemohon, Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 merupakan delegasi yang mengamalkan hal-hal terkait dengan teknis, sementara ambang batas 20% bukan berbicara mengenai teknis dan malah menghambat terjadinya demokrasi yang fair dan kompetitif.
Sementara itu, mengenai pengusungan, hal tersebut seharusnya telah diatur secara limitatif dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, keberadaaan Pasal 222 UU Pemilu ini diyakini pemohon bukan merupakan open legal policy melainkan close legal policy.
Sehingga, seharusnya pasal a quo dibatalkan oleh MK. Sehingga, pada petitumnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sumber: RMOL