OLEH: YOSEF SAMPURNA NGGARANG*
SABTU siang (tanggal 5 Maret 2022) saat saya sedang menikmati minuman Kopi Arabika yang dikirim dari Labuan Bajo sambil menuntaskan bacaan autobiografi dari wartawan senior Panda Nababan (PN) yang juga politisi senior Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, tiba-tiba angin kencang melanda seluruh wilayah; Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek).
Angin yang kecang itu sangat terasa. Hingga beberapa ibu-ibu di kompleks saya di Cempaka Putih, Jakarta Pusat yang sedang berkumpul untuk undi arisan mingguan di teras sebuah warung terpaksa cepat bubar kembali ke rumah masing-masing.
Sebelumnya, saya mendengar obrolan ala ibu-ibu ini soal harga kebutuhan pokok yang terus naik.
“Iye. Gile (dialek Betawi), barang-barang pada naik, yang turun cuma kolor di pinggang," respons dari seorang bapak yang berdiri tidak jauh dari tempat ibu-ibu itu berkumpul.
Saya pun ikut berdiri masuk ke kamar menghindari angin kencang dan terus melanjutkan bacaan autobiografi yang dikirim oleh Bang PN tahun 2021 lalu dengan judul: Lahir Sebagai Petarung.
Buku setebal 1052 halaman yang terdiri dari dua bagian. Buku satu: Menunggangi Gelombang dan buku dua: Dalam Pusaran Kekusaan.
Buku autobiografi Bang PN ini sangat menarik. PN menulis soal hubungan dia dengan para elite di negeri ini; Presiden Jokowi, Wapres JK, Megawati, Taufiq Kiemas, Menteri Koordinator Maritim Dan Investasi (Menko Marves) Luhut Pandjaitan, Prabowo, Surya Paloh, dan tokoh-tokoh lainnya.
Saya tertarik mengutip di buku bagian dua: ”Luhut Panjaitan Tidak Masuk Kabinet”. PN menceritakan soal mengapa nama LBP tidak masuk dalam daftar kabinet saat awal pemerintahan Jokowi (2014). PN pun bertanya ke Jokowi soal ini.
“Jokowi mengungkapkan adanya kendala ketika mengangkat Luhut. Jokowi pribadi sebenarnya sudah memasukan nama Luhut dalam daftar menterinya. Namun, kata Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla dan dua ketua umum partai pengusung, yakni Megawati dan Surya Paloh, tidak menyetujui Luhut masuk Kabinet”.
Alasan dari ketiga tokoh ini karena Luhut adalah Wakil Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar (2008-2014), yang mana saat itu Golkar mengusung Prabowo (halaman 893-904).
Masih di bab ”Luhut Tidak Masuk Kabinet”, PN menceritakan soal LBP pernah punya keinginan untuk menjadi calon wakil presiden. Berikut kutipannya:
Menjelang Pemilihan Presiden tahun 2014, Luhut Binsar Panjaitan (LBP) pernah punya keinginan untuk menjadi calon wakil presiden. Saat itu, nama Jokowi muncul sebagai calon presiden berdasarkan beberapa hasil survei.
Keinginan Luhut untuk maju sebagai calon wakil presiden disampaikan langsung kepada saya. Luhut meminta tolong kepada saya untuk mengundang beberapa anggota DPR lintas fraksi bertamu di kantornya di Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Pada pertemuan itu, dia mengungkapkan keinginannya untuk maju sebagai calon wakil presiden.
"Kalau kalian tidak setuju dengan saya, paling tidak kalian janganlah menghalangi saya," kata Luhut dalam pertemuan itu.
Kala itu, putra kelahiran Simargala, Huta Namora, Silaen, Toba Samosir, Sumatera Utara, pada 28 September 1947 ini menunjukkan keseriusannya dengan membentuk tim sukses, yang beberapa di antaranya adalah teman- temannya di Akabri Angkatan 1970, seperti Fachrul Razi, Agus Widjojo, dan Jhoni Lumintang.
Tim sukses ini diberi nama Bravo 5 dan bekerja menggalang dukungan untuk Luhut dari seluruh Indonesia.
Selain itu, untuk menunjukkan keseriusannya, Luhut juga mengaku sudah menyiapkan anggaran pencalonan.
"Saya betul-betul sudah siap. Sekarang saya sudah siapkan dana. Dalam kendali saya ada uang cash Rp 200 miliar sampai 300 miliar,” kata Luhut. Setelah pertemuan itu, Luhut mulai melakukan pendekatan dengan banyak pihak.
Dalam suatu kesempatan, Luhut bersama tim dari Akabri 70, beberapa tokoh partai politik, dan rekan bisnisnya mengadakan rapat di halaman sekitar kolam renang rumahnya di Kuningan. Saya juga diundang.
Pada pertemuan itu, Luhut meminta pendapat kami tentang rencananya maju sebagai calon wakil presiden.
Setelah beberapa peserta memberikan pendapat, tiba-tiba Luhut berkata, “Panda giliran kau sekarang kasih pendapat tentang rencana kita ini.”
Saya mengatakan, saat Jokowi menjadi Walikota Solo, dia memilih wakilnya F X Hadi Rudyatmo, Ketua DPC PDI Perjuangan Solo yang kebetulan beragama Katolik.
Setelah dia menjadi Gubernur DKI Jakarta, Hadi Rudyatmo yang beragama Katolik yang menjadi Walikota Solo. Kemudian saat dia menjadi Gubernur DKI, Jokowi memilih wakilnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang kebetulan beragama Kristen. Kemudian,Jokowi pergi dan Ahok yang menjadi Gubernur.
Nah, apakah tradisi itu nanti akan diteruskan, saudara Luhut? Apa iya, jika nanti ada apa-apa wakilnya yang Kristen sudah bisa diterima oleh para elite politik Indonesia untuk menjadi presiden? Apakah kondisi ini nantinya tidak menjadi kontraproduktif terhadap pencalonan Jokowi sebagai Presiden?
Belum selesai saya menyampaikan pendapat, tiba-tiba Luhut menyergah, “Sudah, jangan diteruskan, Panda. Aku sudah menangkap apa yang kau mau. Dengan ini, saya menyampaikan saya tidak maju menjadi Cawapres.”
Beberapa temannya mengacungkan jempol kepada saya dari bawah meja, termasuk Fachrul Razi. Karena, mereka semula segan membantah omongan Luhut. Seketika setelah saya bicara, suasana menjadi cair, wajah-wajah mereka ceria dan tidak kaku lagi.
“Konsentrasi kita sekarang memperkuat Bravo 5, mendukung Jokowi,” kata Luhut bersemangat.
Nama Bravo 5 terinspirasi dari jalan Banyumas nomor 5, Menteng, Jakarta Pusat, rumah mertua Luhut.” Halaman (902-904).
Lalu soal bagaimana PN menjadi “Informen Jokowi”. PN menceritakan hubungan LBP dan Surya Paloh yang kurang baik dan hampir berkelahi secara fisik di hotel Borobudur, Jakarta Pusat tahun 2014, halaman (907-909). Berikut kutipannya:
Ketika Jokowi belum lagi genap dua bulan sebagai presiden di periode pertamanya, misalnya, saya informasikan mengenai konflik yang terjadi antara Luhut B. Panjaitan dan Surya Paloh, menjelang Munas Golkar 2014. Partai Golkar Ketika itu memang sedang kisruh karena terjadi polarisasi terkait akan diadakannya pemilihan ketua umum baru.
Saya sendiri mendapat informasi ini dari seorang kawan, yang kemuadian saya konfirmasi langsung ke Surya dan Luhut. Menurut kawan saya, Luhut dan Surya bahkan akan sempat berkelahi secara fisik di Hotel Borobudur, Jakarta.
Ketika itu, keduanya dipertemukan di hotel tersebut oleh pengusaha Tomy Winata. Maka, ketika mendapat informasi soal konflik kedua tokoh tersebut, saya pun menanyakan soal ini kepada Tomy terlebih dahulu.
“Aduh, Pak Panda, maksud saya sebenarnya baik, saya mau mempertemukan mereka karena keduanya kan sama-sama teman. Tapi, saya tidak menyangka keduanya malah jadi ribut, menyesal juga saya,” kata Tomy.
Setelah itu, saya datanglah Surya. Dia mengatakan, peristiwa itu hanya bikin malu dirinya kalau diceritakan kepada saya.
“Lho, malau kenapa? Perbedaan pendapat itu kan biasa dan kita juga biasa diskusi,” kata saya.
Akhirnya Surya pun mau bercerita. Dia mengatakan, meski dirinya sudah punya partai sendiri, Partai Nasdem, dia sebagai orang yang dibesarkan oleh Golkar merasa punya tanggung jawab kalau ada masalah di dalamnya. Itulah yang membuat Luhut sebagai kader Golkar marah kepada Surya.
“Aku bukan mau membela Luhut, Sur, tapi kau memang tidak bisa lagi ikut dalam urusan Golkar karena kau sudah di Nasdem,” kata saya.
Kemudian, saya menemui Luhut untuk mendapat informasi dari kedua belah pihak. Luhut menyangka Surya mengadu kepada saya mengenai pertikaian tersebut.
“Enggak, aku dapat cerita dari seorang kawan,” kata saya.
Luhut pun mengatakan dirinya awalnya hanya mau mengingatkan Surya agar tidak lagi ikut cawe-cawe di Golkar. “Tapi, dia keras kepala, Pan. Padahal, apa pun alasanya, apa pun pembenarannya, dia enggak ada urusan lagi sama Golkar," tutur Luhut.
Kini, gaduh wacana penundaan Pemilu 2024 yang otomatis perpanjang masa presiden, yang mana nama Menko Maritim dan Investasi dilansir dari portal Tempo.Co Senin (7 Maret 2022) ”Luhut Disebut Sempat Kumpulkan Ketua Partai Bahas Penundaan Pemilu”.
Publik ingin tahu, bagaimana hubungan Luhut, Megawati, Surya Paloh, dan Jusuf Kalla, apakah sudah berdamai? Kalau sudah berdamai, apakah mereka ikut diajak pertemuan dalam wacana penundaan Pemilu 2024?
Kok Megawati dan Surya Paloh menolak? Mengapa? Tanyakan saja ke Bang PN? Ya, dua kali saya menghubungi belum di respons, tidak biasanya Bang PN telat respons kalau saya kontak.
Akhirnya saya mikir juga, jangan-jangan Bang PN sedang sibuk rapat di pinggi kolam bahas wacana penundaan Pemilu 2024?
(Penulis adalah Sekjen Pergerakan Kedaulatan Rakyat)