Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Suharto itu anak kesayangannya Sudirman. Sewaktu Jogja diserbu Belanda, dan Pak Dirman harus pergi ke luar kota untuk gerilya, dia minta agar Suharto tetap menjaga keamanan Jogja sebagai ibu kota negara.
"To kamu di sini saja. Jaga Jogja!'' katanya.
''Siap Pak,'' jawab Suharto.
"Kamu tahu risikonya To?"
"Siap Pak. Tahu. Paham,'' jawabnya. Suharto tahu itu perintah panglima dan taruhannya adalah nyawanya sendiri. Suharto siap.
Setelah itu Panglima Sudirman pergi ke luar kota Jogjakarta untuk bergerilya. Suharto yang merupakan komandan teritorial wilayah (Wekhresie III) Jogja dan sekitanya ditinggal. Tapi hubungan dengan Pak Dirman jalan terus. Ini karena semenjak sebelumnya Suharto adalah kepercayaan Sudirman, termasuk ketika Pak Dirman berkomunikasi dengan surat dengan Kartowusiryo yang waktu itu tetap berada di Jawa Barat dan wilayah itu ditinggalkan Pasukan Siliwangi yang harus pindah atau Long March ke Jogja. Selanjutnya, di kemudian hari, Pak Dirman dan Sultan Jogja dan Bambang Sugeng itulah yang menyusun serangan umum 1 Maret 1949. Suharto bertindak sebagai pelaksananya,.
Seorang veteran yang kemudian menjadi maestro pelukis, Roesli, mengisahkan seusai serangan umum 1 Maret itu, Suharto memang menjadi bunga pertempuran , Dia menceritakan terbukti kemudian risikonya bagi Suharto sangat besar, kampungnya di sebelah selatan Yogyakarta, Kemusuk, diobrak abrik. Bapaknya ditembak mati Belanda sehari setelah serangan 1 Maret itu. Saat itu pasukan KNIL Belanda mencari cari keberadaan Suharto.
Selanjutnya, menjelang penyerahan kedulatan oleh pihak pemerintah di Jogja Suharto ditunjuk untuk membujuk Pak Dirman agar bersedia pulang dari gerilya. Saat itu elit di Jogja tahu Panglima Besar enggan pulang ke ibu kota karena ingin merdeka secara total, bukan terus berunding.
Pak Dirman saat itu mengangap kemenangan sudah di depan mata. Dia tahu tentara Belanda moralnya sudah mengalami degradasi yang parah. Sama seperti Tan Malaka, Indonesia oleh Pak Dirman dianggap sangat mampu untuk memenangi peperangan dengan mutlak, persis seperti Vietnam yang saat itu mampu gusur kolonial Prancis.
Suharto dan Rosihan Anwar itulah yang menjemput pulang Pak Dirman dari gerilya. Dari kawasan Malioboro, Suharto menyetir sendiri mobil jeep bersama Rosihan ke arah Gunung Kidul dan Pacitan.''Sepanjang perjalanan dari pagi sampai sore, yang diakhiri berjalan kaki cukup jauh dan minum air kelapa muda, Suharto jarang bicara. Dia memang 'kulino meneng' (orang yang terbiasa diam).'' kisah Rosihan dalam sebuah perbincangan.
Setelah Sudirman yang datang memakai tandu tiba di Jogja, kedatangannya disambut dengan upacara kebesaran militer di Alun Alun utara Jogja. Suharto bertindak sebagai komandan upacara. Setelah itu Pak Dirman pergi menghadap ke Istana Jogjakarta untuk ketemu Presiden Sukarno. Keduanya bertemu dengan suasana kaku. Sudirman terlihat masih kecewa dengan sikap berunding pemerintah. Saking canggungnya pose foto pelukan Sukarno dengan Pak Dirman diulang dua kali karena dianggap tak terlalu akrab.
Presiden Sukarno, meminta fotografer Istana, Mendur, mengulanginya adegan itu. Maka, Soekarno kemudian bertindak layaknya pemain dan sutradara film untuk mengulang adegan pelukan itu. ''Pelukannya kurang erat. Kepala saya tak terlalu merunduk. Kita ulang pelukan ini,'' kata Soekarno.
Kelak, sama seperti menyambut Pak Dirman pulang dari gerila, saat Pak Dirman di makamkan dengan upacara kebesaran mililter di Taman Makam Pahlawan Semaki, Suharto juga bertindak sebagai komandan upacara.
Selain Sudirman, Suharto sangat hormat kepada Gatot Subroto. Kelak ketika jadi presiden nama Gatot Subroto diberikan kepada sebuah jalan baru yang dibangun membelah kota Jakarta, Jl Gatot Subroto. Suharto juga sosok sangat patuh kepada Gatot. Bahkan, ketika dia sempat mau mundur dari tentara karena pangkatnya tak kunjung naik, Pak Gatot-lah yang melarangnya. ''Sabar To,'' kata Pak Gatot di awal tahun 1960-an. Suharto menurut karena Pak Gatot sudah dianggap sebagai ayah angkatnya.
Sebelumnya pula, yakni pada episode usai Menhan yang sempat dipegang pemimpin PKI dalam pemberontakan Madiun, Amir Syarifudin, bisa ditangkap Suharto diminta Pak Gatot mengawal Amir ke Jogja melalui kereta api. Di dalam gerbong Suharto itulah yang mengawal Amir Syarifuddin dengan cara memberikan bacaan yang dimintanya, yakni karya Shakespeare: Romeo dan Juliet.
Suharto juga sukses mengawal Amir yang kala kedatangan dia sampai distasiun Jogya di maki-maki bahkan hendak dipukuli oleh massa.
Dan dalam soal penangkapan Amir ini kredit suksesnya harus diberikan kepada para anggota Batalion Siliwangi yang dipimpin Kemal Idris. Pasukannya itulah yang membersihkan pesantren di sekitar Madiun, terutama Pesantren Takeran, yang dikepung milisi bersenjata PKI Musso.
Uniknya, salah satu anak Kyai Pesantren Takeran yang saat itu menjadi tentara Siliwangi, Kharis Suhud, yang membebaskan pesantren orang tuanya dari kepungan. Kelak Kharis Suhud sempat menjadi Ketua MPR RI. Dan salah satu sosok keluarga pesantren ini lainnya adalah sosok yang dikenal sebagai Dahlan Iskan.''Mas Kharis dan tentara Siliwangi yang datang membebaskan pesantren kami dari kepungan orang komunis,'' kata salah satu pengasuh Pondok Pesantren Takeran dalam perbincangan di rumahnya pada suatu sore beberapa waktu silam.
Ya itulah sepenggal kisah Suharto di zaman perang kemerdekaan selaku kepercayaan Sudirman dan Gatot Subroto.
Banyak pihak boleh saja berusaha keras menghapus hubungan dan jasa mereka ini, tapi ingat semakin keras usaha menghapusnya malah semakin kuat tertanam dalam benak!
Enak zaman ku to? (*)