IDE baru muncul dari Jaksa Agung, ST Burhanuddin. Koruptor Rp50 juta ke bawah tak perlu-lah dipenjara. Karena biaya peradilan bisa ratusan juta rupiah. Akibatnya negara tekor.
Itu dikatakan Jaksa Agung Burhanuddin di webinar bertajuk: "Keadilan Restoratif: Apakah Korupsi Rp50 Juta Perlu Dipenjara?" Disiarkan virtual, Selasa, 8 Maret 2022.
Burhanuddin: "Negara menanggung biaya hingga ratusan juta rupiah untuk menuntaskan sebuah perkara tindak pidana korupsi. Hal ini tentunya tidak sebanding antara biaya operasional dengan hasil tindak pidana korupsi yang diperbuat oleh pelaku."
Dilanjut: "Ditambah lagi, apabila si terpidana masuk dan kita eksekusi di dalam lapas, berapa per harinya uang makan yang harus keluar? Ini adalah ibarat peribahasa besar pasak daripada tiang."
Intinya, negara tekor dua kali. Tekor pertama di biaya peradilan. Tekor berikutnya di memberi makan napi koruptor.
Dilanjut: "Kiranya patut menjadi bahan diskursus bersama. Apakah perkara tersebut harus dilakukan penjatuhan sanksi pidana penjara, atau dapat menggunakan mekanisme penjatuhan sanksi lain?"
Misalnya, penerapan restorative justice. Selama ini Polri sudah menerapkan restorative justice untuk kejahatan kecil.
Contoh restorative justice: Pencuri tabung elpiji di warung kaki lima di Kwitang, Jakarta Pusat, sebulan lalu. Pencuri dan korban dipertemukan polisi. Korban menyatakan ikhlas. Kasus selesai begitu saja, tanpa proses hukum.
Tapi, Burhanuddin tidak mencontohkan kasus tersebut. Ia mencontohkan kasus korupsi di Pontianak, Kalimantan Barat. Pungli senilai Rp 2,2 juta. Ia mempertanyakan, apakah kasus itu harus diproses dengan mekanisme hukum tindak pidana korupsi? Yang biayanya, ia katakan, ratusan juta rupiah?
Pungli itu kini ditangani Polresta Pontianak. Seorang wasit terima pungli Rp2,2 juta. Kini perkaranya tahap Pra-Penuntutan di Kejaksaan Negeri Pontianak.
Burhanuddin: "Maka, menurut hemat saya, penanggulangannya akan lebih tepat jika pendekatannya menggunakan instrumen finansial." Jelasnya, si koruptor mengembalikan uang yang dikorop. Atau hartanya disita untuk pengembalian.
Burhanuddin serius di ide baru ini. Pernyataa di webinar, Selasa, 8 Maret 2022 itu, adalah kali ke dua. Pernyataan yang sama ia lontarkan di Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI, Kamis, 27 Januari 2022.
Bahkan, Burhanuddin sudah mengimbau anak buahnya menerapkan itu.
Burhanuddin: "Kejaksaan Agung telah mengimbau kepada jajaran untuk tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara di bawah Rp50 juta untuk bisa diselesaikan cara pengembalian kerugian keuangan."
Itu bertentangan dengan prinsip Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Waktu itu, pun segera ditanggapi Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, kepada wartawan, Jumat, 28 Januari 2022 mengatakan:
"Negara kita adalah negara hukum. Yang pembentuknya adalah DPR dan pemerintah. Selama hal tersebut tidak diatur dalam UU, kita sebagai penegak hukum tidak bisa berkreasi membiarkan korupsi di bawah Rp50 juta."
Dilanjut: "Karena aspek hukum bukan sekadar tentang kerugian negara. Tapi juga aspek penjeraan. Dan sebagai pernyataan, penghinaan terhadap perilaku yang tercela, yang tidak melihat dari berapa pun kerugiannya."
Di hari yang sama, Jumat, 28 Januari 2022, Peneliti Pukat Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, juga menentang. Karena, tindakan Jaksa Agung itu menyemarakkan korupsi kecil-kecilan.
Zaenur, kepada wartawan, Jumat, 28 Januari 2022, mengatakan: "Ini tentu menaikkan korupsi di tingkat para pegawai bawah. Misalnya di desa."
Dilanjut: "Kalau hanya diancam untuk mengembalikan kerugian negara maka para pegawai di tingkat bawah tidak akan takut melakukan korupsi. Toh, risiko terbesarnya disuruh mengembalikan, atau hanya dilakukan pembinaan oleh inspektorat."
Dari pihak para penentang, intinya, begini: Selama ini saja korupsi merajalela. Apalagi, itu sudah diterapkan (dengan imbauan Jaksa Agung kepada seluruh jaksa). Korupsi bakal gila-gilaan.
Bisa dibayangkan, di sektor pelayanan publik. Seperti, mengurus KTP, pindah penduduk, izin usaha, aneka urusan perizinan. Selama pungli-nya Rp50 juta ke bawah, tidak akan diadili. Kalau ketahuan, cuma disuruh mengganti uang pungli atau korupsi.
Itu cocok dengan teori kriminologi: Rational Choice Theory. Dicetuskan Sosiolog James S. Coleman, yang menyatakan: Penjahat selalu berkalkulasi untung-rugi.
Asumsi dasar Rational Choice Theory, seluruh perilaku sosial disebabkan oleh perilaku individu, yang masing-masing membuat keputusannya sendiri. Teori ini berfokus pada penentu pilihan individu (penjahat).
Teori pilihan rasional juga berasumsi bahwa seseorang memiliki preferensi di antara beberapa pilihan alternatif. Tang memungkinkan orang tersebut menyatakan pilihan yang diinginkannya.
Inti Rational Choice Theory, dalam perspektif penjahat, begini: Jika kerugian lebih besar daripada keuntungan, maka tindak kejahatan tidak dilakukan. Kalau sebaliknya, ya... lanjut saja.
Walaupun logika Jaksa Agung Burhanuddin juga kuat. Ngapain memenjarakan koruptor senilai Rp50 juta ke bawah, kalau dengan begitu negara menderita tekor dua kali.
Seperti halnya berdagang, jika biaya produksi lebih besar daripada pendapatan, dan terus-menerus, maka bisnis itu sebaiknya ditutup saja.
Betapa pun, jika ide Burhanuddin ini kelak disetujui semua pihak, terutama pembuat undang-undang, maka jadi undang-undang. Lantas, dilaksanakan pihak yudikatif.
Seperti umumnya suatu keputusan negara, maka bakal ada yang untung dan rugi.