WANHEARTNEWS.COM - Pemindahan Ibu Kota Negara ke Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) masih menyisakan persoalan lahan.
Sejumlah warga yang lahannya dipasang patok Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP), Ibu Kota Negara di Penajam Paser Utara ( PPU ), Kalimantan Timur kini buka suara.
Hingga saat ini, masih ada sejumlah warga yang belum tahu jika rumah atau lahannya masuk KIPP IKN.
Warga ini baru mengetahui ketika petugas datang dan memasang patok KIPP IKN.
Sebenarnya, warga tak merasa keberatan ada proyek IKN, namun sejumlah warga ini mengkhawatirkan lahan dan rumahnya.
Selain itu, warga juga merasa berat jika harus berpindah tempat lagi.
Sekretaris Kecamatan Sepaku, PPU, Kalimantan Timur pun berbicara terkait dengan keberatan warganya.
Petugas dengan pengawalan ketat dari polisi mulai memasang patok KIPP IKN akhir Februari 2022 lalu.
Salah satu warga yang lahannya dipasang patok KIPP IKN kaget karena tiba-tiba datang petugas untuk pasang patok.
Rania (57), warga RT 10 Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kaltim hanya diam ketika petugas datang dan memasang patok.
Awalnya, Rania tidak tahu jika itu adalah patok IKN.
Dikutip dari kompas.com, Rania baru tahu setelah baca tulisan pada papan plang "batas kawasan inti pusat pemerintah dilarang merusak”.
“Mereka datang langsung matok, tek tek tek (meniru bunyi ketukan saat mematok) langsung pergi.
Baru saya baca plang, oh IKN,” kata dia saat ditemui Kompas.com di kediamannya, Sabtu (19/3/2022).
Ibu dua anak ini mengaku tak mendapat pemberitahuan sebelum pematokan itu dilakukan, baik dari RT maupun lurah.
Dia lalu bertanya ke RT. Penjelasan RT, kata dia, patok itu batas KIPP.
“Kata bu RT, nanti ada penjelasan dari lurah. Tapi sampai sekarang belum ada penjelasan,” tutur dia.
Kendati begitu, Rania tidak mempermasalahkan pematokan tersebut.
Dia mendukung penuh IKN, asal pembangunan nanti, tak menggusur bangunan dan lahan miliknya.
Rania dan suaminya memiliki lahan seluas 18 x 50 meter dengan status segel.
Di atas lahan itu berdiri, satu bangunan rumah, warung sembako ukuran kecil, sisanya dijadikan kebun.
Kebun persis di belakang rumahnya, ada tanaman rambutan, mangga, cempedak, karet, hingga kelapa sawit.
Dia bilang jika pembangunan IKN berdampak ke tanahnya, maka dia meminta ganti rugi bangunan rumah, kebun dan warung sembako sebagaimana yang dia miliki saat ini.
“Kalau hanya diberi rumah aja, mau makan pakai apa. Harus ada tempat usaha dan kebun, baru saya bisa angkat kaki,” kata dia.
Sebagai warga suku asli Paser, Rania ingin hidup tenang di tanah kelahirannya.
Karena itu, dia meminta agar pembangunan IKN tak merampas hak masyarakat lokal.
“Ada IKN kita bersyukur, ramai. Tapi kita jangan ganggu kami, jangan gusur kami. Kalau membangun silahkan.
Kami tinggal di sini sejak nenek moyang kami, saya mau mati di sini, kakek moyang kami lahirkan kami di sini," pungkas dia.
Warga lain, Yati Dahlia juga mengaku tak dapat pemberitahuan.
Dia tidak melarang pemindahan IKN ke Sepaku. Namun, ia berharap pembangunan IKN bisa lebih partisipasif.
"Kami nggak ada pemberitahuann. Enggak ada diajak bicara. Kami enggak dipanggil koordinasi masalah itu.
Lahan kami ikut kena," kata dia.
"Kita nggak melarang cuma diundanglah biar kami tahu. Kami ingin semua orang di sini dilindungi.
Sebelum ada perusahaan, orangtua saya sudah di sini," tambah dia.
Warga RT 16 Kelurahan Pemaluan, Hasan Sulaiman (75) juga menyebut patok KIPP masuk sebagian lahannya.
Meski begitu dia sudah siap melepas namun hanya sebagian jika negara membutuhkan.
“Kalau memang diambil buat negara ya sebagianlah, jangan semua,” kata dia.
Hasan punya lahan sekitar 20-an hektar yang dibeli dari warga setempat pada 2014.
Lahan miliknya itu kini ditumbuhi kelapa sawit. Sebagian sudah sertifikat hak milik (SHM), sebagian lain masih segel. Hasan juga mengaku belum mendapat sosialisasi perihal pembebasan lahan tersebut.
“Kami juga mau tinggal di sini jangan semua dibeli pemerintah. Kita enggak mau pindah, kita ada anak cucu juga yang mau tinggal,” kata dia.
Sekretaris Camat Sepaku, Adi Kustaman mengakui sosialisasi pematokan KIPP ke masyarakat belum maksimal.
Sehari sebelum dipatok, ia mengaku diundang rapat di kantor BPN/ATR Balikpapan.
“Besoknya harus sudah dipasang patok. Saya tolak. Saya bilang harus sosialisasi dulu ke masyarakat,” kata dia.
Usulan tersebut diterima namun diberi waktu hanya sehari. Malamnya ia mengundang masyarakat melalui pesan singkat melalui lurah dan RT.
“Malam-malam karena enggak sempat bikin surat undangan resmi, saya bikin informasi melalui WA (WhatsApp) ke Kades Bumi Harapan dan Pemaluan untuk diteruskan ke RT dan masyarakat pemilik lahan untuk sosialisasi besoknya,” kata dia.
Saat sosialisasi, kata Adi, sebagian masyarakat menghadiri namun sebagian lain tidak.
"Tapi saya rasa sudah cukup mewakili karena banyak juga hadir. Ketua RT juga hadir.
Namanya mendadak, mungkin sedang enggak di tempat. Intinya, semua yang hadir semua setuju,” tutur dia.
Usai sosialisasi itu, tim turun lapangan mematok. Sebanyak 50 titik dipasang patok dengan jarak masing-masing 25 meter sampai 50 meter.
Dari luasan KIPP 6.671 hektar yang dipatok sekitar 800 – 1000 hektar yang masuk areal penggunaan lain (APL).
Sebab, sebagian besar dikuasai masyarakat.
Ada juga aset Pemda PPU, dan konsesi perusahaan sawit.
Adi mengaku punya data jumlah warga yang lahannya masuk kawasan KIPP beserta jumlah bangunan. Namun, dirinya belum bisa membeberkan karena masih data internal.
Nantinya, semua bangunan warga yang dipatok masuk KIPP bakal direlokasi.
“Otomatis bakal diungsikan (relokasi) karena masuk wilayah KIPP. Masyarakat harus siapkan diri.
Masyarakat bisa minta ganti rugi berupa properti, lahan, duit atau pengganti lain yang disepakati," pungkas dia.
Sumber: wartakota