MELESTARIKAN KEBODOHAN BERBALUT ISTILAH "KEARIFAN LOKAL" ALA ISLAM NUSANTARA
Oleh: Azwar Siregar
Saya sebenarnya kurang perduli dengan kehebohan Pawang Hujan yang sukses menjadi bahan guyonan se Planet Bumi kita.
Jangankan rakyat, Para Pejabat, bahkan sekelas Presiden kita, khususnya yang sekarang sangat dekat dengan segala bentuk ritual berbau klenik.
Sebut saja ketika dulu beliau memandikan Mobil Gaibnya dengan kembang tujuh rupa.
Atau yang baru-baru ini, Pecah Kendi di angan-angan Istana Baru.
Bagi saya yang masalah justru pembelaan ngawur terhadap hal tersebut.
Sebut saja Pembelaan dengan menganggapnya sebagai bentuk kearifan lokal.
Setahu saya si Pawang bukan orang Lombok. Sedangkan Sirkuit Mandalika berada di Pulau Lombok NTB. Jadi kalau dianggap kearifan lokal Lombok, jelas salah besar.
Sementara kalau kearifan lokal yang dimaksud merujuk ke Nusantara, kita harus luruskan dulu. Nusantara yang dimaksud itu daerah mana?
Selama ini Nusantara secara politik selalu dianggap sebagai nama lain dari Indonesia. Tapi pada prakteknya selalu dipersempit dengan budaya Suku Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur tanpa Madura).
Padahal jangankan Indonesia secara keseluruhan. Berbicara lingkup Pulau Jawa saja masih ada Suku Sunda, Betawi, Baduy dan Suku Banten.
Tetapi selama ini kalau sudah menyebut Nusantara dan atau Kearifan Lokal Indonesia, selalu saja diwakilkan oleh Adat dan Budaya Jawa Tengah dan Jawa Timur tanpa Madura.
Apakah Indonesia ini cuma Jawa Tengah dan Jawa Timur tanpa Madura?
Pembelaan yang kedua justru semakin ngawur. Karena datangnya dari Tokoh Agama Islam (dari daerah Jawa).
Dia menganggap Ritual Pawang Hujan sama saja dengan Sholat Istisqo atau Sholat meminta hujan. Sama-sama meminta kepada yang Maha Kuasa. Cuma berbeda cara...
Nah disinilah letak kengawurannya. Sholat Istisqo dan Doa meminta hujan memang ada ajarannya dalam Islam. Sebaliknya Ritual Pawang Hujan, bukan cuma tidak ada dalam Islam, bahkan prosesi ritual tersebut sangat dilarang dalam Islam. Karena lebih dekat kepada perilaku syirik.
Sama seperti Sedekah Bumi yang dulu kasusnya ramai. Si Pelaku yang menendang Sesajen karena dianggap perilaku syirik malah diburu dan ditangkap. Beberapa tokoh agama melakukan pembelaan terhadap "kearifan lokal" tersebut.
Ada yang menyebutnya bukan persembahan kepada makhluk halus. Tapi pemberian sedekah kepada burung dan hewan di alam liar sebagai bentuk rasa syukur.
Saya cuma ngakak dengan pembelaan super ngawur ini. Kalau mau bersedekah kepada burung dan hewan lain, ya dijaga aja hutan agar tetap lestari. Kurangi merusak alam dan mengkonversinya jadi Sawah atau Kebun Sawit.
Tidak perlu bikin kue pulut dan memasak opor ayam. Emangnya burung pipit dan musang ebih suka makanannya pakai mecin ya?
Sekali lagi, saya secara pribadi tidak ada masalah dengan berbagai ritual klenik yang disebut kearifan lokal tersebut. Itu adalah hak orang lain. Karena kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak asasi yang dilindungi oleh Konstitusi.
Cuma jari saya terasa gatal untuk menyanggah pembelaan ngawur yang bertentangan dengan logika sehat. Khususnya dari para Pemuka Agama yang berasal dari daerah "Nusantara".
Terakhir saya teringat sebuah tulisan yang sekilas ngawur tapi mengandung kebenaran.
Ketika Islam masuk ke Sumatera, orang Sumatera menjadi Islam. Begitu juga ketika Islam masuk ke Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Lombok, Betawi, Banten, maka orang Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Lombok, Betawi dan Banten menjadi Islam.
Bahkan ketika Islam masuk ke Malaysia, Brunai, Turki dan lainnya, mereka menjadi orang Islam.
Tapi ketika Islam masuk ke Jawa (Tengah dan Timur tanpa Madura), maka Islam yang menjadi Jawa. Jadilah Islam Nusantara. Islam sesat dan menyesatkan. Islam pengusung dan pembela kearifan lokal.
Lucunya hal yang beginian sangat dibanggakan oleh sebagian sedulur dari Jawa. Merasa luar biasa dan beda. Berbeda sendiri dianggap sebuah keistimewaan.
Padahal ngga perlu jauh-jauh. Islam tersesat akibat mencampur-baurkan Agama dengan tradisi ada juga di Vietnam. Yaitu Islam Cham.
Islam Cham di Vietam Sholatnya cuma sekali satu bulan. Terus kalau Puasa Bulan Ramadhan cukup diwakili para Pemuka Agama mereka. Seringkali para pemuka agamanya menutup "masjid" agar kondisi gelap dan mereka bisa berbuka puasa karena sudah dianggap malam.
Saya kira baik Islam Nusantara maupun Islam Cham sama saja. Kebodohan yang dipelihara atas nama tradisi. Dan para Politikus memanfaatkan kondisi ini dengan terus merawat kebodohan yang mereka sebut dengan kearifan lokal!
#TY
(fb penulis)