OLEH: INDRA KUSUMAWARDHANA*
DI jaman modern seperti sekarang ini, sepertinya nalar sulit menerima kenyataan perang antarnegara bisa terjadi. Kebanyakan dari kita berpikir perang adalah realitas klasik ketika bangsa-bangsa berebut sumber daya atau keinginan mencaplok demi mengukuhkan supremasinya.
Maka ketika Rusia menginvasi (pihak Rusia menolak sebutaan ‘invasi’) Ukraina pada 24 Februari 2022 lalu, dunia pun terkejut karena perang semacam ini seperti sebuah anakronisme.
Menurut badan HAM PBB Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) mencatat hingga hari ini (6 Maret 2022) korban jiwa dari perang Rusia-Ukraina telah mencapai 1.123 orang dari warga sipil dimana sebanyak 364 orang terbunuh dan 759 orang terluka.
Selain itu, perang juga memaksa warga Ukraina mengungsi. UNHCR mencatat ada lebih dari satu setengah juta penduduk mengungsi atau meminta perlindungan ke negara-negara tetangga Ukraina. Terbanyak adalah Polandia yang menampung lebih dari 800 ribu pengungsi. Disusul Polandia dan Hungaria yang menampung sekitar 100 ribu pengungsi.
Namun perang bukanlah perkara kemanusiaan belaka. Perang sejak awal peradaban umat manusia adalah bagian dari politik. Bahkan ahli strategi Karl von Clausewitz dalam bukunya On War (1832) mengatakan dalam kalimatnya yang termasyhur, perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara lain (“war is the continuation of politics by other means”).
Yang lebih ekstrem, pakar politik internasional Kenneth Waltz dalam karyanya Man, the State and War (1959) menyatakan kalau perang itu terjadi karena tidak ada pihak manapun yang dapat mencegahnya. Kalau memakai logika Clausewitz-ian dan Waltz-ian ini sungguh sulit bahkan bisa dikatakan mustahil mewujudkan dunia bebas dari perang sebagaimana aspirasi kaum anti-perang (anti-war movement) yang mengusung visi kemanusiaan universal.
Tulisan ini berusaha memberikan penjelasan tentang faktor penyebab perang antara Rusia dan Ukraina.
Di kalangan pengamat dan praktisi politik internasional, agresi Rusia ke Ukraina membelah masyarakat menjadi dua kubu bertentangan. Di satu pihak, ada yang menuduh pro-Rusia karena mengatakan perang itu disebabkan karena kesalahan negara-negara Barat. Di pihak lain, ada yang menuduh pro-Barat hanya karena beranggapan perang itu dilatarbelakangi ambisi Rusia.
Analisis yang jernih semestinya tidak menguatkan cara pandang hitam-putih dan sentimentil seperti itu.
Tulisan ini akan melihat secara lebih komprehensif apa sebetulnya faktor penyebab perang itu terjadi. Tulisan ini berpendapat bahwa perang itu tidak pernah monokausal. Akan ada lebih dari satu penjelasan di baliknya.
Penjelasan pertama dan paling banyak diterima adalah perasaan terancam Rusia oleh ekspansi keanggotaan NATO ke wilayah Eropa Timur.
Pakar politik internasional Universitas Chicago John J. Mearsheimer dalam artikelnya yang kerap dikutip berjudul Why the Ukraine Crisis is the West’s Fault di jurnal Foreign Affaris (2014) mengklaim kambing hitam atas krisis Ukraina harus ditimpakan kepada AS dan sekutu Eropanya karena mendukung perluasan NATO ke Timur.
Ketika NATO dibentuk pada 1949 untuk menandingi Pakta Warsawa bentukan Uni Soviet, aliansi itu masih memiliki jumlah keanggotaan 12 negara. Saat ini, NATO beranggotakan 30 negara. Perluasan keanggotaan NATO terjadi selama Perang Dingin (sebanyak 4 negara masuk) dan pasca Perang Dingin dimana 14 negara Blok Timur bergabung. Dengan demikian, NATO merupakan pakta pertahanan terbesar dan terkuat di abad-21.
Isu perluasan keanggotaan NATO ini menjadi titik sentral konflik antara Rusia dan Barat. Sejak semula, isu perluasan NATO ke Eropa Timur pasca Perang Dingin telah membuat hubungan kedua pihak panas-dingin.
Barat menilai perluasaan ini penting untuk menjamin keamanan negara-negara di kawasan itu. Menurut Presiden AS Bill Clinton seperti dikutip New York Times, 23 Oktober 1996, pada perayaan ulang tahun NATO ke 50 tahun 1999, “daerah ancaman abu-abu tidak boleh lagi muncul di Eropa” yang ia maksudkan sebagai bayang-bayang ancaman Uni Soviet di Eropa Timur.
Ronald Asmus dalam bukunya Opening NATO’s Door: How the Alliance Remade Itself for a New Era (2002) mengatakan, postur keanggotaan NATO yang baru itu akan berkomitmen untuk menangkal ancaman abad-21.
Alhasil, perluasan keanngotaan NATO ke Eropa Timur adalah satu upaya aliansi untuk menguatkan kesiapan menghadapi ancaman di masa mendatang sebagai pemenang Perang Dingin.
AS melanggar dua kali perjanjian yang ia buat bersama pihak Rusia. Pertama, pertemuan antara Presiden AS James Baker dan Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev di Moskow pada 9 Februari 1990.
Dalam sebuah arsip keamanan nasional yang sudah dideklasifikasi pemerintah AS dapat dilihat bahwa pada waktu itu Baker berjanji kepada Gorbachev NATO hanya akan bertahan di Jerman dan tidak akan memperluas keanggotaannya satu inci pun ke Timur (“If we maintain a presence in a Germany that is a part of NATO, there would be no extension of NATO’s jurisdiction for forces of NATO one inch to the east”).
Kedua, pertemuan antara Bill Clinton dan Boris Yeltsin di Kremlin pada 10 Mei 1995. Yeltsin mengatakan perluasan NATO adalah bentuk pengepungan terhadap Rusia. Ia menyarankan agar tidak ada lagi blok semacam itu dan meminta agar Eropa menjamin keamanannya sendiri.
Clinton meredam kegusaran Yeltsin dengan mengatakan bahwa AS tidak akan mengganggu kepentingan Rusia dan justru menawarkan Rusia masuk ke tatanan dunia baru yang dipelopori AS. Yeltsin pun akhirnya mengalah karena lebih fokus pada pemilihan umum di Rusia.
Kekhawatiran Rusia semakin bertambah saat Ukraina mengajukan keanggotaan NATO pada 2008. Pasca invasi Rusia ke Krimea tahun 2014, keinginan tersebut semakin menguat. Publik Ukraina mayoritas mendukung rencana itu.
Seperti dikutip dari kantor berita Interfax-Ukraine pada 18 April 2016, 45 persen masyarakat mendukung Ukraina masuk sebagai anggota NATO sementara 30 persen menolak.
Gayung pun bersambut. Pada pertemuan tingkat tinggi NATO di Brussel bulan Juni 2021, diputuskan bahwa NATO terbuka dengan keinginan Ukraina itu dan mengatakan kalau kebijakan luar negeri Ukraina bebas dari campur tangan asing.
Bagi Rusia keputusan Ukraina ini jelas tak bisa ditoleransi. Pada 2008, Presiden Rusia Vladimir Putin mewanti-wanti Ukraina untuk tidak bergabung ke dalam NATO atau akan diserang oleh misil-misil Rusia.
Seperti dikutip The Guardian, 21 Desember 2021, Putin mengatakan jikalau negara-negara Barat terus bersikap agresif dengan memperluas keanggotaan NATO ke Ukraina, Rusia akan mengambil langkah militer.
Ketika ditanya wartawati Sky News (23 Desember 2021) apa jaminan Rusia tidak akan menginvasi Ukraina, Putin menjawab bahwa taruhannya adalah keamanan Rusia. Menurutnya, perluasan NATO ke Timur tidak dapat diterima. Ia menyalahkan Barat yang telah menempatkan peluru kendali di halaman depan Rusia. Bagi Putin, masuknya Ukraina ke orbit Barat adalah garis merah dan pasti akan direspons dengan kekuatan militer.
Ambisi geopolitik Rusia
Penjelasan kedua mengapa Rusia melakukan agresi ke Ukraina adalah faktor historis dan kultural. Ukraina adalah pecahan Uni Soviet. Secara historis keduanya memiliki afinitas kultural yang sama.
Serhii Plokhy, pakar Ukraina dan Rusia di Universitas Harvard mengatakan dalam buku Lost Kingdom: The Quest for Empire and the Making of the Russian Nation (2017) mengatakan, sebagian besar perang-perang yang dilakukan Rusia ke negara-negara Slavik dimotivasi oleh klaim bahwa Rusia adalah pewaris sah kerajaan Kyivan Rus dan Bizantium di Abad Pertengahan.
Di benak elit-elit politik Rusia, kesadaran historis ini melekat kuat sehingga membentuk jiwa nasionalisme yang terkadang agak berlebihan.
Secara kultural, Ukraina memiliki separuh identitas Rusia. Namun karena kedekatan geografisnya dengan Eropa, Ukraina juga terpengaruh oleh budaya Eropa. Alhasil, Ukraina adalah negara yang unik karena di satu sisi memiliki identitas kultural sebagai “Barat” tetapi di sisi lain juga menyadari sebagai bagian dari “Timur” (Rusia).
Samuel Huntington dalam bukunya yang termasyhur The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996) memasukkan Ukraina sebagai salah satu golongan “negara terbelah” (torn state) yaitu negara yang memiliki identitas nasional yang dilematis; adanya keinginan bergabung dengan Barat namun secara historis, kultural, dan tradisi ia lebih condong pada negara non-Barat.
Vladimir Putin sendiri adalah sosok nasionalis Rusia garis keras yang memandang Ukraina sebagai bagian tak terpisahkan dari Rusia.
Dalam pidatonya pada 30 Juni 2021, Putin mengatakan, “Ukraina adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa Rusia berdasarkan kesamaan bahasa, etnis, budaya, dan agama selama ribuan tahun.”
Klaim ini juga diafirmasi Dmitri Medvedev, pejabat tinggi keamanan yang juga sekaligus mantan presiden Rusia (2008-2012) yang menulis artikel di koran Kommersant tanggal 11 Oktober 2021 berjudul Why Contacts with Current Ukrainian Leadership are Pointless.
Di tulisannya itu, Medvedev mengatakan Ukraina berupaya mengkonstruksi sejarahnya sendiri. Para pemimpin Ukraina dikatakan tidak memiliki konsepsi yang jelas mengenai identitas Ukraina; tentang sejarahnya, budayanya, etnisnya, agamanya.
Kesadaran sejarah membentuk kebijakan luar negeri yang agresif. Salah satu narasi primer dalam diskursus kebijakan luar negeri Rusia adalah doktrin Rusia sebagai “negara besar” (velikaya derzhava).
Andrei Tsyagankov dalam buku Russia and the West from Alexander to Putin: Honor in International Relations (2012) mengatakan istilah ini merupakan doktrin kebijakan luar negeri yang ditujukan untuk memulihkan status Rusia sebagai negara besar serta menggantungkan pada kekuatan sendiri. Istilah ini mengimplikasikan kemampuan negara melindungi kesatuan nasionalnya.
Di bukunya yang lain berjudul Vladimir Putin’s Vision of Russia as a Normal Great Power (2005), Andrei Tsyagankov mengemukakan pendapat bahwa karakteristik kebijakan luar negeri Putin sangat khas mencirikan sebuah negara besar. Memulihkan status sebagai negara besar bukan saja merupakan tujuan yang ingin diraih melainkan juga syarat agar Rusia bisa berperan penting dalam konstelasi politik global.
Kultus kemegahan masa lalu Rusia sebagai imperium besar tampaknya menginspirasi Putin untuk memperluas pengaruhnya ke Ukraina. Aneksasi Krimea pada 2014 yang berujung pada lepasnya dua wilayah Ukraina di sebelah timur yaitu Donetsk dan Luhansk dan kemudian diakui kemerdekaannya oleh Rusia membuktikan ambisi Putin membawa Ukraina di bawah kendali Moskow.
Bagi Rusia, Ukraina adalah komponen esensial bagi konstruksi identitas kultural “Slavik.” Dari kacamata Kremlin, Ukraina bukan sebuah negara melainkan kumpulan orang Rusia yang bermukim di bawah pemerintahan Ukraina.
Sergei Lavrov, Menteri Luar Negeri Rusia, mengatakan seperti dikutip dalam buku Imperial Gamble: Putin, Ukraine, and the New Cold War karya Marvin Kalb (2015), Ukraina akan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Rusia sampai kapan pun. Menghapus masa lalu adalah sebuah hal yang mustahil.
Mungkin benar apa yang dikatakan para sejarawan; masa lalu adalah masa kini. Apa yang kita alami saat ini sebenarnya adalah repetisi dari kejadian di masa lalu. Kebijakan negara banyak dilegitimasi oleh romantisme sejarah, bukan hasil kalkulasi untung-rugi semata. Invasi Rusia ke Ukraina memberi pelajaran penting bahwa sejarah bisa menjadi pedang bermata dua; ia bisa memberi kesadaran tentang siapa kita tetapi juga menyediakan alasan untuk berperilaku agresif.
*(Penulis adalah dosen di Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Pertamina)