MENTERI Tenaga Kerja Ida Fauziyah mengeluarkan Permenaker Nomor 2 tahun 2022 (Permenaker 2/2022) mengenai Jaminan Hari Tua (JHT), yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari 2002 yang lalu dan diundangkan pada tanggal 4 Februari 2022.
Aturan ini mencabut Permenaker Nomor 19 tahun 2015 (Permenaker 19/2015) tentang Tata Cara dan Persyaratan Manfaat Jaminan Hari Tua, serta akan berlaku 3 bulan sejak tanggal diundangkannya tepatnya pada 4 Mei 2022.
Permenaker yang mengatur tentang tata cara dan persyaratan pembayaran manfaat JHT yang baru bisa dicairkan penuh di usia 56 tahun ini mendapat protes, kecaman dan penolakan dari buruh. Bahkan muncul petisi mendesak pembatalan Permenaker 2/2022 ini.
Selain itu, penolakan juga mewarnai jagad media sosial. Mereka menilai, aturan pada Permenaker baru itu membuat buruh yang terkena PHK atau mengundurkan diri baru bisa mengambil jaminan hari tua saat usia pensiun.
Buruh meminta agar Menaker mencabut aturan tersebut. Sebab, dana JHT merupakan uang pekerja yang menjadi harapan utama bagi para pekerja, buruh maupun pegawai kantoran ketika sudah tidak bekerja lagi atau di-PHK dan akan memulai dengan profesi barunya. Bahkan, uang tersebut biasanya menjadi modal usaha.
Salah satu penyebab Permenaker ini harus dicabut karena di masa pandemi Covid-19 ini, tunjangan JHT yang telah dikumpulkan BPJS menjadi sandaran utama bagi para pekerja baik buruh pabrik ataupun perkantoran.
Selama pandemi melanda, jutaan orang telah menjadi korban PHK. Orang-orang yang terkena PHK ini otomatis akan sulit mencari pekerjaan kembali lantaran adanya angkatan kerja baru.
Oleh sebab itu, kegunaan dana JHT menjadi tumpuan para korban PHK untuk menggunanakan uang tersebut guna menjajaki dunia usaha.
Sehingga dana JHT menjadi penting bagi mereka untuk dicairkan dan digunakan sebaik mungkin untuk bertahan hidup tanpa pekerjaan. Kebijakan Permenaker ini tidak sejalan dengan semangat pemulihan ekonomi nasional di masa pandemi.
Selain itu, Peraturan ini membuat buruh harus menunggu lama jika hendak mengklaim JHT. Padahal melalui peraturan lama (Permenaker 19/2015), JHT bisa diklaim dalam waktu satu bulan setelah pekerja mengundurkan diri dari tempatnya terakhir bekerja.
Permenaker 2/2022 juga merupakan aturan turunan Undang-undang (UU) Cipta Kerja yang sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Di samping itu, Permenaker 2/2022 tidak sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memerintahkan Menaker untuk membuat aturan agar JHT buruh yang terkena PHK dapat diambil oleh buruh yang bersangkutan ke BPJS Ketenagakerjaan.
Dengan demikian, Permenaker ini bertentangan dengan kebijakan Presiden Jokowi dalam upaya membantu buruh yang ter-PHK yang kehilangan pendapatannya agar bisa bertahan hidup dari JHT yang diambil 1 bulan setelah PHK.
Jika pekerja mengalami PHK, pemerintah telah menyiapkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tadinya akan meluncurkan program JKT pada 22 Februari yang lalu ternyata tidak jadi.
Di sisi lain, Menaker Ida Fauziyah menyebutkan akan merevisi aturan tentang pencairan JHT tersebut.
Tampaknya kebijakan tentang JHT ini belum matañg dan perlu kajian yang cukup mendalam. Seperti disampaikan Ketua DPR RI Puan Maharani dalam keterangan tertulisnya dikutip dari Antara, Rabu (16/2/2022) yang meminta Kemenaker untuk meninjau ulang tata cara pencairan JHT bagi masyarakat.
"Perlu diingat, JHT bukanlah dana dari Pemerintah, melainkan hak pekerja pribadi karena berasal dari kumpulan potongan gaji teman-teman pekerja, termasuk buruh. Kebijakan itu sesuai dengan peruntukan JHT. Namun, kurang sosialisasi dan tidak sensitif terhadap keadaan masyarakat, khususnya para pekerja,".
Di samping itu, apakah Revisi Permenaker 2/2022 sebagai tuntutan buruh, atau dalih dari Kemenaker atau Instruksi Presiden Jokowi.
Kemudian, apakah benar kebijakan JHT yang baru cair saat 56 tahun ini penyebabnya adalah uang buruh (buruh juga berkedudukan sebagai konsumen) yang ditabung di BPJS ketenagakerjaan/BP Jamsostek lewat JHT, menipis/kosong karena dipakai untuk membiayai kereta cepat dan ibu kota baru.
Wallahualam Bissawab.
*(Penulis adalah Dosen Hukum Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik Pascasarjana Universitas Pasundan; Ketua Umum Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) Jabar Banten DKI Jakarta)