Oleh: Irham Abdika
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia
Polemik mengenai penundaan pemilu terus bergulir. Setelah sebelumnya wacana perpanjangan periode, menjadi 3 periode mendapatkan reaksi penolakan dari publik. Dilansir dari media Gelora News, diberitakan bahwa Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia Kabinet Kerja, Luhut Binsar Panjaitan (LBP) menyatakan bahwa apa alasan jokowi turun?, seolah-olah persoalan yang terjadi di indonesia hanyalah persoalan biasa, saya mencoba menganalogikan persoalan yang terjadi sekarang sama halnya persoalan yang kerap juga terjadi di desa-desa, dimana pemilihan kepala desa seringkali banyak diatur oleh kelompok sosial tertentu, misalnya orang yang dituakan di desa tersebut. Mungkin karena kharisma dan kekuatan ekonomi-politiknya.
Situasi itu sebetulnya bila ditelaah lebih dalam merupakan bentuk feodalisme. Terutama dengan argumennya bahwa untuk apa Jokowi diganti? Bukankah publik merasa puas dengan kinerjanya, dan menghendaki agar Jokowi tetap menjadi presiden selanjutnya. Akan jauh lebih baik, bila Jokowi tetap menjadi presiden, setidaknya-tidaknya bila ditambah tiga tahun. Argumen tersebut mencerminkan seorang mantan jendral TNI dan sekaligus menteri koordinator bidang kemaritiman ini kurang memahami soal konstitusi, padahal tegas dalam UUD telah diatur bahwa presiden hanya dapat menjabat paling lama 2 periode, dengan 5 tahun setiap periodenya. Konsekuensinya maka, tidak boleh ada periode ketiga, atau penambahan 3 tahun di periode kedua.
Perintah konstitusi tersebut terlegitimasi karena kita adalah negara demokrasi dimana salah satu cirinya adalah pembatasan kekuasaan (termasuk masa jabatan presiden). Karena itu sudah jelas bahwa perintah konstitusi menyatakan pemilihan umum presiden atau wakil presiden akan dilaksanakan sekali dalam 5 tahun, mengapa harus mengusulkan penundaan pemilu yang sudah jelas usulan tersebut melanggar konstitusi.
Kalaupun akan dilakukan amandemen UUD tentang perpanjangan masa jabatan atau penambahan periode presiden dan wakil presiden sebanyak tiga priode saya rasa itu bisa saja, selama masih mengikuti mekanisme amandemen UUD, dan dalam mengubah konstitusi bukanlah pekerjaan ringan, membutuhkan alasan kuat, dan memang ada situasi mendesak serta dorongan luar biasa dari publik. Sesuai pasal 37 UUD 1945 amendemen konstitusi, dapat dilakukan bila diusulkan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari keseluruhan anggota MPR, kemudian 2/3 anggota MPR hadir dalam sidang tersebut, serta disetujui oleh ½ + 1 dari keseluruhan anggota MPR.
Saya mengalisa bahwa mengapa opsi penambahan dan perpanjangan periode lebih karena motif mengamankan jalannya pemindahan IKN dan mengonsolidasikan kekuatan untuk memastikan periode berikutnya tetap berada di lingkaran mereka. Terutama karena survei menyebutkan bahwa rakyat masih puas dengan kinerja pak jokowi yang dibuktikan dengan beberapa survei sebut saja Litbang Kompas yang merilis tingginya tingkat kepuasan masyarakat atas kinerja presiden Joko widodo-Makruf Amin yang mencapai kurang lebih dari 73,9% .
Soal tingginya hasil survei terhadap tingkat kepuasan kinerja presiden bukanlah salah satu faktor atau alasan menunda pemilihan umum yang akan di laksanakan pada 14 februari 2024 sesuai ketetapan KPU RI, ditambah lagi dengan alasan perbaikan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19 dan tingginya anggaran pemilu yang mencapai angka Rp 100 Triliun, ditambah menteri koordinator kemaritiman dan investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang menyatakan ada 110 juta rakyat yang mendukung penundaan pemilu berdasarkan big data atau data dari pengguna media sosial, kalau ada 110 juta rakyat yang setuju dari total kurang lebih 271,34 juta rakyat, artinya ada sekitar 160,34 juta rakyat yang ingin atau menolak penundaan pemilu 2024 mungkin logika sederhananya seperti itu.
Saya mengganggap bahwa alasan alasan yang di lontarkan itu tak satupun masuk dalam syarat penundaan pemilu, karena penundaan pemilu bisa dilakukan jika keadaan terpaksa, misalnya ada perang, bencana alam yang luar biasa terjadi, tapi kondisi hari ini Indonesia tidak dalam kondisi darurat, jadi tak ada alasan untuk menunda pemilu 2024. (*)