WANHEARTNEWS.COM - Demokrasi di Indonesia bisa disebut demokrasi tanpa "demos" yakni demokrasi yang mengabaikan suara publik yang sebetulnya menjadi tulang punggung demokrasi itu sendiri. Hal itu salah satunya ditandai dengan munculnya isu penundaan pemilu 2024 yang digaungkan para elite politik.
Demikian disampaikan Direktur pusat Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (29/3).
"Wacana yang mengingkari aturan main demokratis telah muncul sejak 2019 di mana setelah pemilu Prabowo dan Surya Paloh bertemu membicarakan amandemen UUD 1945," ungkap Wijayanto.
Menurutnya, sejak saat itu pula masyarakat Indonesia disuguhi usulan tiga periode untuk masa jabatan presiden. Sialnya, kata dia, belakangan wacana itu muncul dalam bentuk penundaan Pemilu 2024.
Ia menambahkan, dalam buku "Kemunduran Demokrasi dan Resiliensi Masyarakat Sipil" yang diterbitkan LP3ES, terdapat sedikitnya empat indikator perilaku otoriter.
Pertama, demokrasi lemah atau penolakan terhadap aturan main demokratis. Kedua, penyangkalan legitimasi lawan politik. Ketiga, toleransi atau anjuran kekerasan. Kesempatan, kesediaan membatasi kebebasan sipil termasuk media.
"Meskipun Indonesia digolongkan negara demokrasi yang cacat namun skor di elektoral proses dan partisipasi masyarakat sipil yang mempunyai angka tinggi. Jika pemilu sampai ditunda, niscaya skor kita akan jeblok," sesalnya.
Skor pada aspek political culture sangat buruk. Termasuk budaya demokratis untuk berhenti pada waktunya belum muncul, juga adanya politik dinasti yang dimunculkan oleh elit politik dan menjadi salah satu problem besar.
Dalam konteks kemunduran demokrasi di Indonesia, ada berbagai permasalahan lain yang dijelaskan dalam buku LP3ES yakni buzzers politik dan manipulasi opini publik merupakan salah satu di antaranya.
"Riset menemukan bahwa politisi dan pengusaha berperan dalam pendanaan para buzzers ini," pungkasnya.
Sumber: rmol