WANHEARTNEWS.COM - Politisi Irlandia Richard Boyd Barrett pada Rabu menyoroti standar ganda negara barat terkait invasi Rusia atas Ukraina.
“Semua kutukan, kecaman terhadap Rezim Vladimir Putin karena menginvasi Ukraina seharusnya juga diterapkan kepada Negara Israel atas perlakuannya terhadap warga Palestina,” tegas Ricard Boyd Barret dalam cuitannya di akun Twitternya @RBoydBarrett Rabu (2/3/2022) lalu.
Penulusuran Serambinews.com di laman Wikipedia, https://en.wikipedia.org/wiki/Richard_Boyd_Barrett Richard Boyd Barrett adalah anggota Partai "Solidaritas --People Before Profit" di Irlandia.
Dalam postingan yang disertai video Ricard mengajukan sejumlah kritik terhadap pemerintahnya atas tanggapan pada invasi Rusia terhadap Ukraina yang dibandingkan dengan perlakuan Israel terhadap Palestina.
Baca juga: Rusia Bawa Bom Termobarik ke Ukraina, Senjata Paling Ditakuti di Dunia, Paru-paru Manusia Bisa Copot
Dia menyampaikan hal itu bertepatan dengan invasi barbar terhadap Ukraina yang dilakukan oleh rezim Vladimir Putin.
Ditegaskan, semua pihak sudah sepatutnya mengecam kejahatan yang bertentangan dengan kemanusiaan yang dilakukan Putin di Ukraina.
Pemerintah langsung bergerak dalam waktu 5 hari untuk menjatuhkan sanksi kepada rezim Putin dan melakukan tindakan mendesak hingga penggunaan bahasa yang keras.
Apa yang dilakukan terhadap Putin ini menurut Richard sudah sangat tepat dan sepantasnya hingga disebut sebagai barbar, penjahat, pembunuh, penghasut oerang, semua hal itu diakui patut.
“Tapi semuanya itu seharusnya juga diterapkan kepada negara Israel, atas perlakuannya terhadap warga Palestina,” ujar Ricard sebagaimana diunggah secara utuh dalam akun Youtube Cardova Media, Jumat (4/3/2022). https://youtu.be/0Gnh17zSt0s
Namun lanjut Ricard, pemerintah dinilainya justru risau untuk menggunakan bahasa atau perlakuan yang sama pada Israel. Dan merasa tidak pantas bahkan menggunakan kata apartheid.
Richard pun membeberkan ketika Amnesti Internasional, organisasi HAM yang paling dihormati di dunia dan lembaga Human Right Watch dalam waktu singkat mengeluarkan laporan kejahatan tersebut menyatakan bahwa Israel sejak didirikan, dilandaskan pada system penindasan, penguasaan, apartheid dan rasisme.
Melibatkan pembunuhan terhadap penduduk sipil yang tidak bersenjata terus menerus, penahanan dan penangkapan, pencaplokan tanah.
Kemudian pengusiran penduduk, pengabaian hak-hak mendasar terhadap 6 juta warga Palestina yang terusir, yang berada di luar Israel dan teritoria Palestina yang dijajah kembali ke rumah mereka sendiri.
Dia juga menyampaikan soal blockade illegal Israel terhadap Gaza sebagaimana yang dinyatakan dalam laporan bahwa Gaza berada pada situasi permanen terjadinya krisis kemanusiaan.
Mencegah mereka (warga Palestina di Gaza) untuk mengakses makanan dan air minum. Memperlakukan penduduk Arab, penduduk Palestina sebagai ras yang inferior.
“Sudah kurang keras apalagi sehingga Anda memilih untuk berhati-hati, memilih bahasa untuk Israel.
Anda merasa senang menggunakan bahasa pernyataan yang paling keras mendeskripsikan kejahatan yang tak manusiawi oelh Vladimir Putin.
Baca juga: Israel Kembali Lakukan Kekerasan Terhadap Palestina Saat Perayaan Isra Miraj, Mana NATO & Amerika?
Tetapi Anda tidak menggunakan kekuatan bahasa yang sama untuk mendeskripsikan perlakukan Israel terhadap Palestina,” tegas Richard.
Bukan hanya itu, dalam cuitannya di twitter, Richard menuliskan Standar ganda yang dilakukan pemerintah.
“Standar ganda yang dilakukan mengejutkan oleh Míchael Martin. Benar mengutuk Putin untuk kejahatan terhadap kemanusiaan tetapi menolak untuk mengutuk Israel untuk kejahatan yang sama terhadap kemanusiaan & kejahatan aprtheid atau menjatuhkan sanksi apapun pada Israel meskipun laporan Amnesti baru-baru ini meminta dia untuk melakukannya. dan negara Israel sebagai bencana total bagi Palestina,” tulis Richard.
Pria kelahiran 6 Februari 1967 ini menyerukan kemunafikan Pemerintah atas apartheid Israel terhadap Palestina.
Mereka benar mengutuk invasi Putin ke Ukraina tetapi mereka bahkan tidak akan menggunakan kata apartheid untuk menggambarkan penindasan Israel terhadap Palestina.
Orang-orang Palestina diperlakukan sebagai ras yang lebih rendah.
Akses ke makanan dan air ditolak. Namun tidak ada sanksi terhadap Israel karena rezim apartheidnya. Benar-benar munafik.
Laporan Amnesti adalah tuduhan keras terhadap Israel. Dengan tegas menuduhnya apartheid, kejahatan terhadap kemanusiaan.
Tidak ada yang lebih jelas dari ini. Namun pemerintah Irlandia ingin "berhati-hati" dalam bahasanya,” demikian sejumlah cuitan Richard dalam akun twitternya.
Dalam sejumlah artikel dan pemberitaan, Richard memang kerap melontaskan kritikan keras terhadap penjajahan Israel terhadap Palestina.
Tahun 2020 lalu, sebagaimana dipublikasi di sebuah media nasional Richard juga menyoroti situasi Palestina,
Dia menggambarkan pendudukan Palestina dan pendirian negara Israel sebagai bencana total bagi Palestina.
Dalam sebuah wawancara dengan IRNA, ia mengomentari pendudukan panjang Israel atas Palestina selama 72 tahun terakhir, merupakan penindasan yang ekstrem.
Israel berpura-pura tertarik pada perdamaian, kata Boyd Barret, seraya menambahkan situasi di Gaza bisa dianggap mengerikan.
Boyd Barret menyatakan komunitas internasional telah gagal total dalam melindungi hak-hak dasar manusia dan sipil Palestina.
"Masyarakat telah mengizinkan pelanggaran sistematis hak asasi manusia yang berkelanjutan, termasuk pengepungan ilegal Gaza atau pembersihan etnis," tambahnya.
Mengomentari kesepakatan abad ini, Boyd Barret menunjukkan itu tidak dapat dianggap sebagai kesepakatan damai. "AS berpura-pura tertarik pada perdamaian."
Dia menegaskan kesepakatan itu dapat dianggap sebagai dukungan pendudukan ilegal tanah oleh rezim.
Politisi ini menggambarkan Israel sebagai rezim apartheid. Menurut dia, memulihkan perdamaian di Palestina dan wilayah hanya akan mungkin melalui pembongkaran rezim.
Richard Boyd Barrett adalah anggota Partai "Solidaritas --People Before Profit" di Irlandia.
Sebagaimana gencar diberitakan, Beragam sanksi ekonomi yang diberikan negara-negara barat membuat Rusia terancam default alias wanprestasi dalam membayar surat utangnya.
Sanksi itu membuat pasar saham Rusia ditutup, dan perusahaan melarikan diri dari Rusia. Teranyar, Bank Dunia menghentikan program pendanaan terhadap Rusia dan Belarusia.
"Sanksi yang dikenakan pada Rusia telah secara signifikan meningkatkan kemungkinan default obligasi pemerintah Rusia," kata ahli strategi pasar negara berkembang JPMorgan dalam sebuah catatan dikutip dari CNN Business, Kamis (3/2/2022).
Sanksi tersebut sejalan dengan kebijakan pemimpin dunia untuk menekan Presiden Vladimir Putin agar menghentikan invasi itu.
Semula, sanksi untuk Rusia hanya dijatuhkan oleh Amerika Serikat (AS) dan sebagian negara Uni Eropa. Namun seiring dengan semakin memanasnya konflik, beberapa negara lain pun ikut menjatuhkan sanksi terhadap negara yang beribukota di Moscow itu.
Hal inilah yang memicu kegeraman Richard Boyd Barret, politisi Irlandia. Dia menilai jika negara-negara barat tidak adil karena hanya memberikan sanksi bagi Rusia atas invasi terhadap Ukraina dan mengabaikan kondisi penindasan yang dilakukan Israel pada Palestina. (*)
Sumber: tribunnews