Rasisme dan Standar Ganda Eropa terhadap Pengungsi -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Rasisme dan Standar Ganda Eropa terhadap Pengungsi

Minggu, 20 Maret 2022 | Maret 20, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-03-20T07:17:13Z


Oleh: Indra Kusumawardhana*

KECAMUK perang antara Rusia dan Ukraina telah mengakibatkan jutaan pengungsi membanjiri negara-negara Eropa. Menurut UNHCR, badan PBB yang mengurusi pengungsi, per tanggal 18 Maret 2022 atau 22 hari pasca invasi Rusia ke Ukraina, setidaknya 3.270.662 penduduk Ukraina mengungsi ke negara-negara tetangga mereka seperti Polandia, Rumania, Moldova, Hungaria, dan Slowakia. Polandia menerima pengungsi terbanyak dengan hampir 2 juta pengungsi.

Fakta ini mengingatkan bagaimana perlakuan negara-negara Eropa tersebut terhadap pengungsi dari Suriah.

Tahun lalu, 2.800 pengungsi asal Suriah meminta perlindungan Bulgaria dan hanya 1.850 yang diberikan status pengungsi (RMOL, 2022). Pemerintah Polandia malah memasang pagar pembatas sepanjang 115 mil di perbatasan Polandia-Belarusia untuk mencegah ribuan pengungsi Timur Tengah memasuki negaranya. Survei yang diadakan tahun 2016 menyatakan sebanyak 73 persen masyarakat Polandia memandang pengungsi dari Timur Tengah adalah ancaman terhadap negaranya (US News, 2021).

Sama halnya, pemerintah Austria baru-baru ini membuat kebijakan pintu terbuka bagi pengungsi Ukraina. Menurut laman berita Vondobona (2022), Kementerian Dalam Negeri Austria akan memberikan jaminan perlindungan sementara kepada korban perang termasuk akses pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan. Hal ini kontras dengan kebijakan tahun lalu yang menolak pengungsi asal Afghanistan. Pada 2016, Austria juga menolak menampung pengungsi Timur Tengah dari Jerman.

Barat Vs Non-Barat

Fakta-fakta tersebut menunjukkan sikap hipokrit sejumlah negara Eropa dalam isu pengungsi. Mereka memandang pengungsi dari Timur Tengah secara berbeda dengan pengungsi asal Ukraina.

Perdana Menteri Bulgaria Kiril Petkov misalnya mengatakan bahwa negaranya tidak mau menampung pengungsi dengan masa lalu yang tidak jelas seraya menambahkan pengungsi dari Ukraina adalah orang-orang yang cerdas, berpendidikan, dan berkualifikasi tinggi (RMOL, 2022).

Pandangan Kiril Petkov memang tidak mewakili pandangan seluruh negara Eropa mengenai isu pengungsi. Akan tetapi, cara pandang ini mencerminkan bagaimana Eropa memaknai pengungsi dari dua kawasan berbeda.

Menurut Edward Said dalam bukunya "Orientalisme", Barat selalu memandang non-Barat secara berlawanan dengan mereka dan memposisikan mereka secara subordinat. Relasi kuasa yang timpang antara Barat dan non-Barat membuat Barat leluasa menciptakan narasi yang bias terhadap non-Barat. Hal ini dilakukan untuk mengukuhkan supremasinya.

Pola pikir oposisi biner ini juga diperkuat oleh penelitian Lene Hansen dalam bukunya "Security as Practice" yang mengkaji konstruksi ancaman negara-negara Barat terhadap konflik Bosnia. Menurutnya, Barat memaknai dirinya sebagai kawasan “beradab,” “maju,” “rasional,” dan “terkendali,” bertolakbelakang dengan kawasan selain Barat yang “tidak beradab,” “terbelakang,” “irasional,” dan “tidak terkendali” (Hansen, 2006). Konstruksi berpikir Barat yang bias ini menjadi alat justifikasi bagi kebijakan yang tidak ramah terhadap pengungsi dari non-Barat.

Masyarakat Eropa cenderung menggambarkan kawasan non-Eropa sebagai sumber malapetaka. Karena itu, mereka cenderung enggan menerima pengungsi dari Timur Tengah, Afghanistan, dan Afrika karena dipandang tidak mewakili peradaban Barat yang “maju” dan “beradab.” Lebih khusus lagi, kawasan-kawasan itu direpresentasikan sebagai “penghasil terorisme” yang mengancam keamanan dan kebudayaan Eropa.

Survei Pew Research Center tahun 2016 menunjukkan sebagian besar negara Eropa menganggap pengungsi Timur Tengah akan menjadi penyebab munculnya terorisme, beban bagi negara dan masyarakat, dan pelaku kriminal.

Islamofobia
 
Sikap diskriminatif Eropa terhadap pengungsi dari Timur Tengah juga diperburuk oleh sentimen keagamaan. Citra Timur Tengah yang penuh gejolak aksi teror membekas di benak banyak masyarakat Eropa.

Hal itu ditambah dengan sejumlah aksi teror yang mengguncang Eropa seperti serangan bom di London tahun 2005, “tragedi Charli Hebdo” tahun 2015, bom bunuh diri di Brussel tahun 2016, dan sejumlah serangan ke publik.

Meskipun aksi teror di Eropa tidak hanya dilakukan oleh kalangan teroris Timur Tengah, seperti kasus penembakan brutal Anders Breivik seorang ekstremis sayap kanan di Norwegia tahun 2011 yang menewaskan 77 orang, namun stigma terorisme terlanjur diasosiasikan dengan Islam. Islamofobia kian menguat seiring dengan gelombang pengungsi dari Timur Tengah.

Menurut studi yang dilakukan John L. Esposito dan Farid Hafez (2021), Austria, Jerman, dan Perancis adalah negara Eropa yang paling getol mengkampanyekan ancaman Islam dan mengasosiasikan Islam dengan terorisme. Negara-negara Eropa cenderung memandang Islam sebagai sumber ancaman bagi masyarakat Eropa.

Pada 2020, Islamofobia di Eropa kian menguat. Sebuah laporan yang mengkaji isu Islamofobia di Eropa meneliti 31 negara Eropa untuk melihat kecenderungan sentimen anti-Muslim. Hasilnya, pemerintah di banyak negara Eropa mengesahkan kebijakan anti-Muslim. Hal ini jelas merupakan ancaman terhadap kebebasan sipil di Eropa.

Sikap negara-negara Eropa yang cenderung antipati terhadap pengungsi Timur Tengah ini sebenarnya kontradiktif dengan kultur Eropa yang demokratis. Bahkan, ide-ide seperti demokrasi, HAM, dan prinsip-prinsip kemanusiaan yang melingkupinya sebetulnya dapat dikatakan berasal dari Eropa.

Akan tetapi dalam praktiknya, masyarakat Eropa kebanyakan lebih termakan oleh logika ancaman dan sentimen rasial ketimbang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sebagaimana dikatakan Sigmund Freud, "ketakutan adalah naluri paling dasar umat manusia." 

*) Penulis adalah dosen di Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Pertamina
×
Berita Terbaru Update
close