Oleh: Yosef Sampurna Nggarang*
“Republik masih aman Yos," suara Bang Panda Nababan (PN) di ujung telepon Rabu siang pekan lalu saat saya menanyakan kabarnya.
Lalu saya mengajukan pertanyaan terkait hubungan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), Surya Paloh (SP), Megawati (Mega) dan Jusuf Kalla (JK), ”Bang PN, bagaimana hubungan mereka sekarang, apakah sudah baikan?”
Dalam tulisan saya sebelumnya merujuk buku PN soal hampir berantem fisik antara LBP dan SP di hotel Borobudur, Jakarta Pusat pada tahun 2014 dan lalu LBP sempat ada keinginan mau maju calon wakil presiden (wapres) tahun 2014.
Untuk menunjukkan keseriusannya dia sudah menyiapkan uang Rp 200 sampai Rp 300 miliar, namun setelah mendengar masukan PN, LBP memutuskan tidak jadi maju.
Masih merujuk buku PN, soal mengapa nama LBP tidak masuk dalam jajaran kabinet saat awal pemerintahan Presiden Jokowi-JK. Ternyata dua ketua umum partai, yaitu SP dan Mega, juga Wakil Presiden JK menolak.
Terkait pertanyaan saya di atas, PN menjawab singkat, "Wallahu'alam Yos”. Jawaban yang singkat ini memunculkan pertanyaan baru saya kepada PN, soal bagaimana hubungan PN dengan LBP sekarang ini, apakah baik-baik saja? Pertanyaan ini saya urung untuk ucapkan.
Rupanya PN belum baca tulisanku, sehingga iya bertanya, “Kau tulis di mana Yos, kau kirim ke aku tulisanmu itu sekarang?”
“Ada di media online, sudah aku kirim ke Abang,” kata saya.
”Baiklah kita atur waktu jumpa," kata PN mengakhiri obrolan kami siang itu.
Selepas obrolan, saya melanjutkan membaca buku autobiografi PN tersebut di dalam mobil menuju FX Senayan. Dari buku ini saya dapat banyak informasi, cerita dibalik berita terkait konflik antara elite-elite politisi di negeri ini.
Saya tertuju ke halaman 328 buku bagian satu (Menunggang Gelombang). PN mengisahkan soal Presiden "SBY Takut Surya Paloh”. Saya dan Anda mungkin pernah mendengar soal konflik antara kedua tokoh ini, tapi saya tidak tahu apa pangkal soal hingga terjadi konflik.
Dalam buku ini PN mengungkapkan dengan gamblang masalah kedua orang tersebut, bahwa SBY perintahkan kepada Sudi Silalahi (almarhum) untuk mengawal perkembangan kasus SP di Kejaksaan, dalam kasus Hotel Tiara di Medan. Berikut saya kutip agak Panjang:
Sebelum menjadi Jaksa Agung, jabatan Hendarman Supanji adalah Jaksa Muda Bidang Bagian Khusus (Jampidus). Ada cerita soal ini.
Ketika saya akan bertemu Sekertaris Kabinet Sudi Silalahi di kantornya, di lantai 2, saya melihat Hendarman Supandji berjalan di sebuah lorong di kantor itu. Dia tidak melihat saya.
Saya menanyakan ke Sudi prihal kedatangan Jampidsus Hendarman Supandji. "Pak Sudi, itu ngapain Jampidsus datang ke sini?”
“Wah, pusing kepalaku,” kata Sudi. “Berubah lagi printah Presiden. Tadinya Presiden SBY meminta saya mengikuti perkembangan kasus Surya Paloh di kejaksaan, dalam kasus hotel Tiara di Medan. Eh, ternyata presiden diserang terus oleh media Surya Paloh, Metro TV dan Media Indonesia, sekarang berubah lagi printahnya. Makanya saya bilang tadi ke Hendarman Supandji supaya kasus Surya Paloh itu tidak menjadi perhatian presiden lagi.”
Sebagai wartawan senior, saya menjadi penasaran informasi dari Sudi Silalahi itu. Keesokan harinya, saya mendatangi Hendarman Supandji, tanpa memberi tahu saya bertemu dengan Sudi sebelumnya. Hendarman mengakui ada atensi Presiden atas kasus Surya Paloh ini.
“Saya juga enggak tahu ini maunya apa. Padahal, saya sudah usut, sudah ada pemanggilan-pemanggilan. Tapi, ya, sudahlah, kalau memang perintahnya begitu,” kata Hendarman.
“Loh, dari aspek hukumnya bagaimana? Kok jadi begitu?” tanya saya.
“Ah, sudahlah, tidak usah kita campuri ini. sudah tingkat tinggi ini,” ujar Hendarman.
Seketika saya senyum setelah membaca kisah “SBY Takut Surya Paloh”, merasa ada “kelucuan” dalam melihat hubungan elite-elite politik negeri ini.
Setahu saya: Media Group (Media Indonesia dan Metro TV) pada pemilu Presiden 2004 mendukung pasangan SBY-JK. Lantas mengapa hubungan kedua tokoh ini kurang bagus?
“Kelucuan” selanjutnya saat saya membaca di bagian halaman 576, lagi-lagi masih tentang SP. PN menceritakan kisah tentang “Surya Paloh Tantang Duel Harmoko” lewat surat pribadi yang ditunjukkan kepada Menteri Penerangan era Presiden Soeharto itu. Berikut sebagian kutipan kisah tersebut:
Beberapa hari setelah Prioritas diberedel, Surya menunjukkan surat pribadinya yang ditunjukkan kepada Harmoko. Dia meminta saya membacanya lebih dahulu sebelum dikirimkan.
Ruapanya,Harmoko memberi tahu Nasrudin Hars bahwa dia menerima surat dari Surya. Di luar dugaan, Nasrudin menyatakan kepada Harmoko bahwa yang membuat konsep surat itu adalah panda. Informasi ini saya ketahui dari cerita Surya kepada saya.
“Apaan Nasrudin ini? Dia katakan surat itu buatan Panda dan atas saran Panda. Itu memang sikap saya kepada dia, yang setiap hari omong kosong itu,“ kata Surya. Memang, di tengah masyarakat saat itu, nama Harmoko dipelesetkan sebagai kependekan dari ”hari-hari omong kosong”.
Sebenarnya, kata pemimpin redaksi Harian Merdeka B. M. Diah kepada saya, nama Harmoko adalah kependekan dari Harun Mohamad Komar, sesuai dengan kartu karyawan sewaktu dia menjadi karikaturis di Harian Merdeka. Di koran itu, dia membuat tokoh karikartur bernama Moko, yang kemudian populer dengan nama Harmoko.
Makna cerita di atas menurut saya, SP adalah seorang “petarung”. Kalau pekan lalu AIrlangga Hartanto datang kepada SP, menurut saya sangat tepat. SP bisa menjadi “partner” untuk melawan bersama menghadapi tekanan dari orang “berpengaruh” dalam soal wacana penundaan pemilu dan perpanjangan jabatan presiden.
Bila ketua umum partai atau menteri takut diancam oleh orang yang “berpengaruh” saat ini, datanglah ke SP. Sebagai politisi senior yang memiliki jam terbang tinggi, tentu dia memiliki segudang jurus politik dan nyalinya sudah teruji mulai dari zaman orde baru; tantang duel Harmoko, pernah "bertarung" dengan presiden SBY,hingga "SBY takut sama SP". Ini fakta.
Melihat fakta di atas,muncul pertanyaan publik kepada sang (Ideolog?) SP, Apakah berani menolak dan melawan usaha penundaan pemilu dari orang yang “berpengaruh” sekarang?
*) Sekretaris Jenderal Pergerakan Kedalutan Rakyat