"Ini antrian apa ya, Pak?" tanya saya pada bapak-bapak yang sedang antri di kantor cabang salah satu parpol, yang ketumnya mantan vokalis band dan sekarang jadi vokalis ibukota.
"Minyak goreng, Mas," jawab si bapak.
"Oh. Harga berapa?" tanya saya lagi.
"10.000 seliter."
"Maksimal boleh beli berapa liter?"
"Dua."
"Emang di luar ga ada Pak, sampe antrinya sepanjang ini?" Ngilu liat antrian yang panjangnya hampir setengah kilometer.
"Susah, Mas. Kalau ada harganya mahal."
"Baru kali ini antri apa sudah sering?" lanjut saya penasaran.
"Ya lumayan. Biasanya tiap minggu ada aja parpol yang jual migor murah. Saya antri gantian sama istri. Migor hampir 3 bulan ini susah nyarinya," ujarnya.
"Wah, pemerintah kita ini gimana ya. Masak kebutuhan pokok bisa langka sampe berbulan-bulan gini. Mana gula juga mulai langka. Apa nggak kesian sama rakyatnya ya?" ungkap saya.
"Lho, kok sampeyan nyalahin pemerintah? Sampeyan ini kurang cerdas kayak kadrun aja." Si bapak tiba-tiba emosi. "Wajarlah kalau mau puasa harga minyak goreng naik. Lagi pula kan sekarang Rusia Ukraina sedang perang, otomatis harga-harga jadi naik karena produksi sawit Rusia diembargo sama Amerika cs. Nggak cuma di Indonesia, di seluruh dunia juga naik," lanjut si bapak masih emosi.
"Ya ada andil pemerintah lah, Pak. Lagian sejak kapan Rusia jadi produsen sawit. Sebelum ini kita kan hampir nggak pernah mengalami kelangkaan migor. Produksi sawit jumlahnya lebih dari 4-5 kali lipat kebutuhan rumah tangga. Harusnya cukup dan masih bisa ekspor juga.
Tapi sejak pemerintah ngasih subsidi sawit untuk bio-diesel, produsen sawit rame-rame jual sawitnya ke pemerintah. Pikir mereka, ngapain capek-capek diolah jadi migor, jika langsung dijual ke pemerintah dalam bentuk mentahan lebih untung.
Plus jor-joran ekspor sawit buat menggenjot devisa tapi lalai memperhitungkan kebutuhan domestik terutama untuk rumah tangga. Imbasnya, stok migor dalam negeri langka.
Saya tahu pemerintah niatnya baik. Tapi niat baik itu juga harus disertai prediksi, rencana, program, dan perhitungan yang matang serta eksekusi yang terkontrol, agar tidak ada kejadian memalukan seperti ini. Kerja itu harus cerdas. Kalau cuma kerja, kerja, kerja, kerbau di sawah juga kerja. Malah 'kerja'-nya sampe 5 karena kerbau kerja nggak digaji apalagi dikasih tunjangan." Saya coba jelaskan, kali ini agak hati-hati karena yang saya ajak ngobrol ternyata seorang fanatik.
"Nggak bisa gitu," bantah si bapak. "Pemerintah sudah mikirin semua. Stok dalam negeri sebenarnya cukup, tapi kata Pak Menteri ada pengusaha yang nimbun minyak biar harga naik dan sisanya diselundupin. Mereka itu yang harus sampeyan salahkan."
"Kalau stok terjamin ada terus, pengusahanya bakal nangis sendiri kalau nekat nimbun. Harusnya kalau pengawasan bener, kebijakan yang dikeluarkan bener, masalah kelangkaan migor ini gak akan terjadi," balas saya agak sedikit khawatir.
"Ya wajarlah kalau sekali-kali ada dikit masalah. Kerjaan pemerintah banyak, nggak cuma ngurus minyak goreng." Masih ngotot dia. "Kasihan lho Presiden capek banting tulang siang malam mikirin rakyatnya. Sudah capek-capek mengabdi buat bangsa dan negara, masih disalah-salahin juga. Emang sampeyan bisa ngurus negara? Ngurus negara itu gak mudah lho."
Yaelah. Tiap ngobrol sama orang-orang ini mesti ada dialog kayak gitu.
"Ya memang nggak mudah. Tapi kan presiden kerjanya nggak sendirian. Beliau punya puluhan menteri dan pejabat setingkat menteri buat bantuin mikir, dibantu ratusan kepala daerah untuk mempermudah kerjaannya, ratusan dirjen dan ribuan ASN buat menjalankan program-programnya, dan masih banyak pejabat-pejabat lain yang membantu tugasnya.
Soal kerja keras, emang kita-kita ini kerjaannya cuma rebahan nunggu disuapin pemerintah? Semua kerja keras, Pak.
Mau dikasihani atau dianggap mengabdi nggak tepat juga. Gaji Presiden plus tunjangannya ratusan juta. Kebutuhan sandang pangan papan ditanggung negara. Makan sekeluarga dimasaki koki kelas bintang lima, dan nggak bakal cemas kehabisan minyak goreng atau gula di rumahnya.
Tinggal di istana. Kesehatannya selalu dimonitor dokter-dokter terbaik. Ke mana-mana naik mobil kelas VVIP atau pesawat kepresidenan yang super nyaman. Dikawal pasukan terlatih. Nggak perlu khawatir terjebak macet atau rumahnya kebanjiran, dan lain-lain dan sebagainya.
Jadi aneh dong, dengan segala fasilitas mewah seperti itu, Presiden dikasihani oleh orang yang sedang antri berjam-jam demi seliter dua liter minyak goreng kayak sampeyan," tutup saya sambil menyegerakan diri kabur dari antrian.
Takut aja tiba-tiba ditonjok atau disuruh pindah ke luar negeri.
(Wendra Setiawan)