WANEARTNEWS.COM - Utang pemerintah yang berpotensi membengkak pada kuartal II-2022, disinyalir mengundang krisis pembiayaan dan menjalar ke sulitnya mendapat investor.
Begitu analisis Direktur Center of Economic and Law Studie (Celios), Bhima Yudhistira, menanggapi perihal utang pemerintah yang hingga Februari 2022 sudah mencapai Rp 7.014,58 triliun.
Menurutnya, nominal utang yang bertambah sekitar Rp 4.349,7 triliun dari semenjak awal Presiden Jokowi memerintah di periode pertama pada tahun 2015 tersebut, akan makin menggunung mengingat keharusan pemerintah menyediakan bantalan ekonomi bagi masyarakat.
Salah satu contoh konretnya Bhima menyebutkan potensi kenaikan utang pemerintah untuk memberikan subsidi energi bagi masyarakat. Karena, baru-baru ini terjadi kenaikan harga minyak dunia yang mengharuskan adanya kenaikan harga BBM RON 92 atau Pertamax menjadi Rp 12.500 per liter.
"Setidaknya dari subsidi energi apabila bengkak dari Rp 134 triliun menjadi Rp 200 triliun artinya butuh tambahan pembiayaan Rp 66 triliun," papar Bhima kepada Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (9/4).
Penambahan utang, baik untuk kebutuhan subsidi energi maupun subsidi pangan yang juga mengalami lonjakan harga, menurut Bhima akan terjadi apabila pemasukan pemerintah dari sektor pajak minim.
"Jika pajak tidak bisa menutup defisit konsekuensinya menambah utang baru," imbuhnya menegaskan.
Karena itu, Bhima memandang perlu bagi pemerintah untuk memperhatikan beban utang pemerintah terhadap penerimaan pajak, yang berdasarkan catatannya hingga hari ini masih cukup tinggi.
"Meskipun keseimbangan primer bisa ditekan menjadi surplus, namun pengeluaran belanja pemerintah yang meningkat akibat tambahan subsidi energi dan pangan menimbulkan kenaikan beban pembiayaan utang pada kuartal ke II 2022," tuturnya.
"Ini bisa terjadi krisis utang dan membuat kepercayaan investor turun tajam," tambahnya menutup.
Sumber: RMOL