OLEH: RADEN BASKORO HUTAGALUNG
PERNYATAAN duet Jokowi-Luhut sengaja saya ambil dari pernyataan Prof Amien Rais beberapa hari yang lalu. Karena sejatinya, secara de facto hari ini yang memimpin roda pemerintahan saat ini adalah mereka berdua (Jokowi-Luhut) meskipun KH Maruf Amin secara de jure adalah Wapresnya Jokowi.
Dan tokoh reformasi itu juga menolak keras upaya perpanjangan masa jabatan dan penundaan Pemilu yang jelas melanggar konstitusi serta amanah reformasi yang di perjuangkan berdarah-darah pada tahun 1998 yang lalu.
Selanjutnya, menarik juga setelah membaca tulisan begawan politik Asia-Pasifik yaitu Prof. R. William Liddle, Guru Besar Ilmu politik dari Ohio University di Kompas on-line terbit 04 april kemaren.
Bahwasanya beliau mengamati demokrasi di Indonesia sedang berhadapan dengan ancaman nyata, tetapi juga mempunyai solusi yang terang benderang terkait isu perpanjangan masa jabatan Presiden dan penundaan Pemilu seharusnya. Ancaman nyata karena akan menabrak konstitusi, punya solusi terang benderang karena semu sudah di atur dalam konstitusi tinggal menjalankannya.
Contoh dari pengalaman sejarah masa BJ Habibie dengan jelas dan bernas juga beliau ungkapkan kembali, bahwasanya mesti diakui, walaupun BJ Habibie dianggap sebagian orang sebagai presiden yang “lemah”. Tapi menurut beliau, justru BJ Habibie adalah Presiden hasil demokrasi pertama sejak era reformasi yang mampu memberikan teladan yang baik tidak “ambisi” untuk mengejar jabatan.
BJ Habibie dengan gentleman menyerahkan nasib jabatannya melalui mekanisme demokrasi, tanpa intrik-intrik kekuasaan. Padahal kalau beliau mau, bisa saja beliau melakukan banyak hal untuk memperpanjang kekuasaannya.
Selanjutnya, kita simak juga pernyataan begawan ekonomi Dr. Rizal Ramli yang menyatakan bahwa; masa pemerintahan Jokowi saat ini adalah masa emas dan kegemilangan kekuasaan oligharki. Makanya wajar, mereka para penikmat kekuasaan ini berupaya bagaimana melanggengkan kekuasaannya. Meskipun itu menabrak dan merubah konstitusi.
Ditambah lagi sudah begitu banyak juga kesalahan, kebobrokan yang mereka lakukan yang tentu saja bisa berdampak hukum kalau tidak menjabat lagi. Jadi, wajar juga duet Jokowi-Luhut ini sebagai perpanjangan tangan oligarki berupaya berkuas terus menerus kalau perlu seumur hidupnya agar lepas dari ancaman jeratan hukum dan titik balik kemarahan masyarakat.
Akumulasi holistik dapat kita ambil dan kapitalisasi dari banyak tanggapan para tokoh besar diatas adalah bahwa; Indonesia saat ini sedang mengalami sebuah turbulensi dahsyat dalam proses penyelenggaraan negaranya. Karena ada sekelompok orang yang ingin menabrak konstitusi (hukum dasar tertinggi) demi melanggengkan kekuasaannya. Dan demi melindungi kejahatannya pada demokrasi.
Ada sekelompok manusia di Indonesia yang sangat berambisi, kemaruk, over dosis, untuk terus berkuasa dan mengeruk kekayaan sepuas-puasnya dari bumi nusantara. Sedangkan, kita semua tahu Indonesia secara hukum adalah negara yang menganut demokrasi dan secara konstitusi setiap presiden di batasi masa jabatannya dua periode.
Anehnya, ambisi kuno berbau ala kolonial ini di suarakan oleh para ketua partai politik dan menteri yang notabonenya mereka semua adalah bahagian dari lingkar kekuasaan.
Bahkan lucunya lagi ada yang sok-sokan berbicara tentang big data, untuk melegitimasi seolah kehendak itu muncul dari rakyat, tentu saja alibi big data tersebut seketika mudah di patahkan oleh para ahli big data di bidangnya. Beginilah kalau umur post kolonial mau menjadi seolah milenial yang jelas dunianya terbuka transparan.
Kondisi dan permasalahan bangsa kita hari ini sudah sangat begitu kompleks. Hutang negara ini sudah menembus angka Rp 7.000 triliun. Ini sangat fantastis sekali. Sampai untuk bayar bunga dan cicilan pokoknya saja juga sudah menggunakan hutang.
Baru saja, harga BBM (pertamax) naik. Pertalite walaupun belum naik tapi mulai langka seperti premium yang sekarang perlahan hilang dari pasar. Minyak goreng langka dan mahal. Pajak PPn di naikkan. Harga cabe dan sembakon lainnya juga naik.
Dan yang paling parah dan berbahaya juga adalah, index demokrasi negara kita hari ini merosot tajam. Penguasa hari ini semakin hari semakin diktator, anti kritik, terjangkit penyakit Islamphobia (benci Islam) sedangkan ini negara mayoritas Islam, suka ribut dengan rakyatnya sendiri menggunakan tangan aparat demi kepentingan oligarki.
Banyak lagi permasalahan korupsi yang tak henti-henti, sampai Gibran-Kaesang selaku anak Presiden juga sudah di laporkan ke KPK atas dugaan korupsi bersama kelompok Sinar Mas. Gurita bisnis Luhut di bidang tambang juga sudah di bongkar Haris Azhar Cs ke publik.
Ketidak adilan hukum, diskriminasi dan intimidasi semakin menjadi-jadi di lakukan oleh penguasa hari ini. Densus 88 yang seharusnya menjadi penegak hukum, justru hari ini bertindak seperti “teroris” menangkap dan membunuhi rakyat tanpa alasan yang jelas.
HAM mereka abaikan begitu saja. Belum lagi permasalahan agraria dengan masyarakat adat, masyarakat desa di daerah, dimana demi mengeruk hasil tambang, penguasa hari ini seakan tidak peduli dengan hak tanah adat, hak masyarakat desa yang seenaknya mereka rampas dan kriminalisasi para tokoh adat dan pemuka masyarakatnya.
Gilanya lagi, pembangunan IKN juga tetap di paksakan. Sesuatu hal yang sangat kontradiksi dengan kondisi bangsa hari ini dari segala bidang. Dan biang kerok dari semua kerusakan itu adalah Jokowi-Luhut. Karena dua orang inilah yang berjibaku, mengkonsolidasi, dan melaksanakan semua agenda itu melalui kaki tangan kekuasannya.
Jokowi sebagai pemegang mandat tertinggi dalam menunjuk siapa Kapolri, Panglima TNI, KeJagung, dan pilar kekuasaan lainnya. Luhut sebagai eksekutor dan navigator pelaksanaan di lapangan. Siapa yang berdebrangan akan di sikat.
Di cari penyakitnya, bahkan sampai di penjarakan hanya karena berbeda pendapat. Contohnya kasus RUU Omnibus Law yang menenjarakan tiga petinggi Kami Syahganda-Jumhur-Anton Permana. Padahal, UU Omnibus Law itu sendiri di putus inskonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
Partai politik di buat tak berkutik. PDIP yang katanya partai penguasa, paling ribut sebentar kemudian hilang tenggelam. Apalagi partai lain. Sedangkan Gerindra mau di harapkan, sibuk juga dengan konsolidasi tak jelas arah kemanannya. Ikut timbuk tenggelam bersama kekuasaan. Sedangkan PKS tinggal sendirian menunggu waktu untuk di habisi.
Penetrasi dan kekuasaan Jokowi-Luhut sudah boleh di katakan over dosis. Sehingga banyak terjadi abuse of power. Dan prilaku kekuasaan ini sangat berbahaya bagi nasib bangsa ini kedepan kalau tidak di hentikan.
Sampai KH Mustofa Bisri alias Gus Mus seorang ulama NU berpengaruh mengatakan, “kalau dulu zaman Orba yang jadi Soeharto cuma satu orang. Makanya negara aman dan stabil. Tapi sekarang, yang jadi Soeharto itu banyak, semua jadi Soeharto. Makanya negara jadi berantakan”.
Kalau sempat upaya perpanjangan masa jabatan berhasil di gulirkan maka yang akan terjadi adalah :
Pertama, kekuasaan oligarki juga akan semakin panjang. Yang berarti penderitaan masyarakat dan kerusakan demi kerusakan bernegara kita juga akan terus berlanjut.
Kedua. Citra Indonesia sebagai negara demokrasi akan tercoreng dan berubah menjadi negara otokrasi diktatorian. Maka Indonesia harus bersiap diisolasi dalam pergaulan internasional dan kemudian hanya bergantung pada China komunis. Sedangkan secara ideologis, komunisme sangat bertentangan dengan Pancasila dan kultur budaya bangsa kita.
Ketiga. Perpanjang masa jabatan Presiden akan merusak, meluluh lantak kan pondasi ketata negaraan Indonesia. Presiden serta pejabat yang ikut perpanjangan, akan kehilangan legitimasi sosial politik dari rakyat. Artinya, perang saudara dan konflik horizontal akan semakin terbuka karena Presiden dianggap melanggar konstitusi dan legal untuk “tidak” di akui setiap kebijakannya.
Keempat. Perpanjangan masa jabatan presiden, juga akan membuka pintu estafet kepemimpinan dari Jokowi ke anaknya Gibran, dan dari Luhut ke menantunya Maruli Simanjuntak yang saat ini menjabat Pangkostrad.
Bukan tidak mungkin pada Pemilu dan Pilpres selanjutnya Gibran (3 tahun ke depan berumur 40 tahun dan memenuhi syarat umur minimal Capres) berpasangan maju dengan Maruli yang tentu saja sudah bisa menjadi KSAD atau Panglima TNI. Maka lahirlah duet baru Gibran-Maruli, melanjutkan estafet Jokowi-Luhut.
Kelima. Perpanjangan masa jabatan, berarti juga menambah masa dan waktu kepada China komunis untuk memperdalam cengkramannya di Indonesia. Menjarah dan menguasai Indonesia secara total.
Berbagai program dan agenda “De-Islamisasinya” (program menghapus/menghilangkan) hegemoni Islam fundamental di Indonesia semakin dapat angin dan leluasa.
Sekarang saja, ummat Islam di Indonesia sudah babak belur di hajar program De-Islamisasi China komunis melalui proxynya di Indonesia. Apalagi di perpanjang masa kekuasaannya.
Untuk itu, para pemimpin dan tokoh bangsa, serta masyarakat harus sadar. Bahwa sumber dari segala permasalahan kita hari ini adalah duet Jokowi-Luhut. Para petinggi partai politik juga harus sadar bahwa, tupoksi mereka sudah di kebiri dan di rampas. Partai politik jangan jadi pengkhianat terhadap bangsa dan negara.
Duet Jokowi-Luhut ini harus di hentikan, yaitu stop upaya perpanjangan masa jabatan Presiden atau penundaan Pemilu. Kalau tidak ingin bangsa ini terpecah belah dan konflik vertikal-horizontal terjadi. Merdeka!
*(Forum Diaspora Indonesia, tinggal menetap di Perth,Australia)