OLEH: AKMAL NASERY BASRAL*
SALAH satu trending topic dalam negeri selama sepekan ini adalah Tsamara Amany. Semua dimulai Senin, 18 April. Dari New York City, Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia berusia 25 tahun itu mengumumkan mundur dari pengurus dan kader PSI.
“Keputusan ini saya ambil berdasarkan pertimbangan pribadi. Saya membutuhkan perjalanan baru di luar partai politik ... mengabdi kepada Indonesia ... salah satunya dengan fokus menyuarakan isu perempuan dan kepentingan perempuan,” katanya dalam video 7 menit di kanal YouTube pribadi.
Pernyataan itu diramu dengan cuplikan kegiatannya selama menjadi aktivis ‘Partai Bro and Sis’.
Tsamara mengucapkan terima kasih kepada ‘Bro’ Jeffrie Geovanie (Ketua Dewan Pembina), ‘Sis’ Grace Natalie (Wakil Ketua Dewan Pembina, mantan Ketua Umum), dan ‘Bro’ Raja Juli Antoni (Sekretaris Dewan Pembina, mantan Sekjen) serta berharap PSI sukses di masa depan.
Sehari kemudian Grace merespons dengan menyatakan memahami keputusan Tsamara dan mendorong juniornya itu untuk memperbanyak pengalaman di bidang non-politik.
“Jika satu saat nanti Sis Tsamara ingin kembali pulang ke rumah kita bersama akan diterima dengan senang hati,” ujarnya tersenyum.
Sampai di sini kedua perempuan politisi menunjukkan fatsoen politik elegan. Adab berpisah yang menawan. Namun bagi warganet, pengumuman Tsamara bak Laut Merah yang terbelah dan memisahkan dua kubu.
Mereka yang girang merespons dengan kalimat ‘alhamdulillah Tsamara tobat’. Yang meradang menyebutnya ‘kadrun’ bahkan ‘antek Yaman’.
Komentar itu, misalnya, datang dari akun @GusNajb yang mendaku kader Banser (Barisan Ansor Serbaguna), organ Gerakan Pemuda Ansor yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama, ormas Islam terbesar di tanah air. Foto profil akun tersebut seorang lelaki memakai seragam loreng Banser dan berpeci hitam.
Sekilas terlihat valid. @GusNajb menyertakan foto pernikahan Tsamara pada 2019. Di depan pelaminan, Gubernur Anies Baswedan dan suami Tsamara, Ismail Fajrie Alatas, berpelukan.
“Sesama antek Yaman berpelukan. Ternyata idealisme masih kalah dengan urusan ranjang. Mungkin lebih maksimal penetrasinya,” tulis @GusNajb.
Komentar rasis dan vulgar itu viral sepanjang Sabtu kemarin (23/4) sebelum muncul bantahan GP Ansor.
“Akun itu mencatut foto kader kami secara tidak sah. Tim cyber Ansor sedang bekerja melacak pemilik akun. Kami juga akan tempuh jalur hukum dan polisikan pemilik akun. LBH Ansor yang mengurusnya,” ujar Luqman Hakim, Ketua GP Ansor.
Sejak muncul klarifikasi itu, akun @GusNajb menghilang dari jagat dunia maya. Lenyap tak tentu rimba. Sedangkan terhadap akun @xeriaz_marhaenisi menuduhnya ‘kadrun’, Tsamara merespons dengan melaporkan ke akun Twitter Divisi Humas Polri.
‘Geger Tsamara’ semakin membuktikan tidak sehatnya kondisi masyarakat menyikapi perbedaan sikap. Sebuah ciri Low Trust Society yang ditandai rendahnya kepercayaan interpersonal dan tidak berbagi nilai-nilai etika yang sama (shared ethical values) seperti disebutkan Yoshihiro Francis Fukuyama (1995). Itu terlihat jelas karena Tsamara sendiri tegas menyatakan tak pindah ke parpol lain, namun tak dipercayai netizen.
“Netizen kita itu terkenal norak dan kasar. Tak perlu tahu persis motif Tsamara keluar dari PSI langsung di- bully dan dimaki, bahkan dituduh kadrun. Ini penanda tegas residu Pemilu 2019 tak pernah hilang,” simpul Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno. “Noraknya lagi yang terbelah itu cuma netizen yang tak dapat untung apapun. Sementara parpol yang jelas bermusuhan saat pilpres malah saling berangkulan.” (Detik.com, 23/4, 16:22 WIB).
Sosok Profesor Ismail Fajrie Alatas, 38 tahun, Guru Besar Kajian Islam dan Timur Tengah di New York University, suami Tsamara, diyakini para haters berperan besar dalam faktor mundurnya sang politisi dari PSI.
“Padahal dia tak pernah melarang saya berpolitik karena saat kami bertemu pun saya sudah aktif di PSI,” ungkap Tsamara kepada Rosiana Silalahi (21/4).
Diungkitnya kedatangan Anies Baswedan sebagai tamu pernikahan Tsamara & Aji—nama panggilan Fajrie--di Hotel Fairmont Senayan, 19 Oktober 2019, memang sangat berlebihan kalau bukan sangat konyol. Sebab, saat itu Presiden Jokowi pun hadir sebagai tamu.
Bahkan saat akad nikah, saksi pernikahan adalah Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin. Ini terjadi karena saat itu Tsamara—masih berusia 23--menjadi juru bicara keduanya pada pilpres tahun itu.
Kehadiran putri pengusaha tambang Muhammad Abdurachman Alatas ini di dunia politik nasional memang cukup fenomenal. Tsamara bergabung dengan partai baru PSI ketika saat mengerjakan tugas akhir skripsi sebagai mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina.
Meski “anak baru”, pamornya moncer dengan komentar-komentar artikulatif, berani mengungkapkan pendapat dan tak ragu berpolemik terbuka dengan politisi senior.
Tsamara bahkan menyentil Presiden Rusia Vladimir Putin melalui cuitannya di tahun 2018. Dia bilang Putin tidak memberikan kebebasan kepada rakyat Rusia untuk berekspresi dan membiarkan korupsi merajalela di negaranya.
Kritik ini mendapat tanggapan surat kabar Russia Beyond The Headlines (RBTH, kini menjadi Russia Beyond saja) yang membela Putin.
Pada Pemilu legislatif 2019, Tsamara yang mewakili dapil Jakarta II (Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan luar negeri) mendulang suara cukup signifikan sebanyak 103 ribu suara, hanya kalah dari politisi kawakan Hidayat Nur Wahid yang meraup 248 ribu suara.
Namun dengan ambang batas parlemen sebesar empat persen—sementara suara PSI belum berhasil tembus dua persen—membuat Tsamara gagal melenggang ke Senayan.
Prestasi individualnya sebagai mahasiswi tak mengecewakan. Dia lulus kuliah dalam 3,5 tahun, lulus dengan predikat magna cum laude dengan IPK 3,86, dan diwisuda pada April 2018.
Persis dua tahun kemudian, dia mengumumkan diterima di New York University untuk studi pascasarjana di bidang Kebijakan Publik dan Kajian Media ( Public Policy & Media Studies)) melalui beasiswa Fulbright.
Sampai di sini, seharusnya tanda-tanda Tsamara akan mundur dari dunia politik sudah mulai terbaca. Dengan suami yang tinggal dan mengajar di NYC, serta program studi magister yang dijalaninya di kota yang sama, pilihan paling logis bagi Tsamara sebagai seorang istri dan mahasiswi pascasarjana untuk mencurahkan seluruh fokus, energi dan stamina dirinya pada fase kehidupan barunya di NYC.
Masyarakat yang berciri High Trust Society mampu memahami pilihan seorang perempuan secerdas Tsamara, yang juga akan dilakukan perempuan mana pun dengan kondisi serupa.
Tsamara bukan seorang lajang, dia memiliki suami. Sudah barang tentu mereka punya komitmen dan kesepakatan-kesepakatan yang tak perlu mereka ungkap kepada publik karena mereka bukan perusahaan terbuka (Tbk).
Hidup mereka adalah privasi mereka. Justru (sebagian) publik (yang terus saja nyinyir) harus belajar menghormati pilihan pasangan intelektual ini tersebab mereka adalah aset bangsa yang potensial.
Jika saya boleh berpesan kepada Tsamara dan Profesor Aji, lanjutkan hidup kalian. Jangan ragu putuskan hubungan untuk sementara dari dunia sosial. Disconnected. Fokuskan waktu dan sibukkan diri mengisi ibadah Ramadhan dan merayakan hari kemenangan 1 Syawal yang sudah tercium wanginya di depan mata.
Don’t make stupid people famous. Tsamara tak perlu melayangkan somasi dan aneka aduan atas segala macam fitnah dari akun-akun siluman dan antah berantah karena hanya akan habiskan energi dan menari mengikuti tabuhan gendang para ignoran.
Jika tetap ingin membuat laporan, jangan lupa bahwa sebaik-baik laporan adalah dengan menceritakan semua beban hati dan tekanan pikiran kepada Allah Raja Semesta pada malam-malam terakhir bulan suci Ramadhan ini, di setiap sujud yang asali.
Sebab semua doa dan pinta yang dibisikkan lirih ke telinga bumi akan bergaung kencang dari lisan langit.
Maju terus Tsamara dan Profesor Aji. Kalian adalah bagian dari masa depan akal sehat negeri ini. Harta karun Indonesia dalam bentuk human capital yang spesial.
*(Penulis adalah Sosiolog)