Oleh: Achmad Nur Hidayat*
BUKANNYA fokus urus ekonomi, sebaliknya, pemerintahan Jokowi malah fokus memperpanjang 3 periode.
Padahal harga pokok naik, BBM dan minyak goreng langka, harga daging naik, gula pasir naik dan banyak publik kehilangan pekerjaan akibat Covid-19.
Semua itu merupakan tugas pokok pemerintahan yang kini dilalaikan oleh pemerintah. Kenaikan harga disikapi dengan tidak kompeten, pemerintah pun belum serius menciptakan pekerjaan kepada rakyatnya.
Hal ini terlihat dari melencengnya tugas-tugas kementerian seperti Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Investasi, Menteri Perdagangan, dan Menteri Komunikasi Informatika yang hadir memberikan dukungan 3 periode di sela-sela tugas pemerintahannya.
Pertemuan Apdesi yang dihadiri Presiden Jokowi, Menko Marinves Luhut Binsari Pandjaitan, Mendagri, Tito Karnavian adalah salah satu contoh bagaimana penyimpangan kepala pemerintahan dan menterinya mengubah tugas pemerintahan menjadi alat propoganda antikonstitusi meminta perpanjangan 3 periode.
Kemungkinan acara seperti Apdesi tersebut akan marak. Berbagai deklarasi elemen masyarakat diprediksi bermunculan untuk menyukseskan kampanye tiga periodenya presiden. Deklarasi tersebut adalah hasil kerja bawah tanah pembantu-pembantu presiden yang bekerja saat ini.
Gerakan Bawah Tanah 3 Periode Berbahaya
Saat ini Presiden Jokowi dan pembantunya kembali salah arah. Muncul sekelompok elite pemerintahan yang aktif melakukan gerakan bawah tanah untuk menyukseskan pemerintahan Jokowi berkuasa selama 3 periode.
Bila propaganda 3 periode tersebut terus dilanjutkan, maka akan berbahaya untuk ekonomi, sosial, politik Indonesia. Indonesia akan memasuki krisis baru, yaitu krisis politik dan kepemimpinan.
Manuver gerakan bawah tanah tersebut akan berdampak 3 hal.
Pertama, pemerintah akan kehilangan fokus kerja mengatasi persoalan ekonomi dan pemulihan kesehatan akibat Covid-19. Ini berbahaya buat pemerintahan sendiri.
Kedua, pemerintah akan memasuki sosial unrest terbaru dari kalangan sipil demokrasi yang menentang cita-cita otoritarian tersebut. Protes sosial seperti protes BEM, gerakan mahasiswa dan LSM sudah bermunculan di berbagai daerah.
Ketiga, pemerintah mengundang kontroversi politik di kalangan pimpinan partai politik koalisinya dan para menteri dari kalangan profesional. Hal ini membuat pemerintahan koalisi tidak solid dan rawan pecah kongsi.
Ketiga persoalan, ekonomi, sosial dan politik tersebut tidak mendukung stabilitas yang diperlukan untuk pemulihan akibat Covid-19. Ketiganya berujung kepada instabilitas yang akan menyusahkan rakyat sendiri.
Bila presiden seorang negarawan, harusnya presiden berhenti melakukan gerakan bawah tanah tiga periode dan fokus menuntaskan pemerintahan sampai 2024.
*) Penulis adalah Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute