WANHEARTNEWS.COM - Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax seperti menambah akumulasi amarah rakyat pada pemerintah. Sebab, seolah tidak ada proteksi yang diberikan pemerintah pada rakyat agar harga kebutuhan pokok menjadi terjangkau.
Menjadi akumulasi lantaran di sisi lain, harga-harga kebutuhan pokok juga gagal dikendalikan pemerintah. Bahkan urusan minyak goreng saja, pemerintah gagal menerapkan harga eceran tetap (HET) sebesar Rp 14 ribu per liter.
Pemerintah seperti angkat tangan menghadapi “sabotase ekonomi” para kartel minyak goreng yang membuat minyak goreng langka. Terbukti setelah HET dicabut, ketersediaan minyak goreng langsung membludak di pasaran.
Tidak cukup sampai di situ. Masyarakat juga mayoritas marah dengan wacana penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan. Terlebih, wacana yang didengungkan elite partai koalisi, menteri, dan menko ini bertentangan dengan konstitusi RI.
Atas alasan itu, sejumlah kalangan yakin jika isu penundaan Pemilu 2024 dan penambahan masa jabatan presiden terus didengungkan, maka akan terjadi tragedi seperti pada tahun 1998.
“Ya pasti itu, bahkan bisa lebih parah dari ’98. ’98 itu hanya krisis finansial, tapi sekarang krisis kebutuhan basic needs, lebih berbahaya dari ’98,” kata pakar politik dan filsafat, Rocky Gerung kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (1/4).
Senada itu, pengamat politik Jamiluddin Ritonga berpendapat bahwa kenaikan harga bahan pokok dan BBM bisa menjadi pemantik masyarakat untuk melakukan demonstrasi seperti yang terjadi di tahun 1998.
Dia berharap, pemerintah bisa melakukan langkah antisipatif terhadap permasalahan tersebut.
“Hal itu tentu tidak kita kehendaki. Sebab, Indonesia tidak boleh lagi mundur ekonomi dan politiknya hanya karena ambisi presiden tiga periode. Hal itu kiranya dicamkan semua elite yang tergoda memperpanjang kekuasaannya,” tutupnya.
Sumber: rmol