Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan berpotensi terjerat hukum jika tidak membuka big data soal penundaan pemilu. Di mana simpulan data itu sempat dia umbar ke publik untuk menggambarkan kecenderungan masyarakat ingin Pemilu 2024 ditunda.
Menurut Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi, Luhut sebagai pejabat publik seharusnya memenuhi tuntutan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) untuk membuka big data soal tunda pemilu.
Apalagi, publik juga turut menunggu big data Luhut yang mengakibatkan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat hingga terjadi aksi demonstrasi di berbagai daerah.
"Karena Luhut pejabat publik, maka Luhut harus menjawab soal data itu ke publik. Luhut jangan bersembunyi dengan alasan dia berhak untuk tidak buka ke publik," ujar Muslim kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (13/4).
Jika tidak membuka informasi tersebut kepada publik, maka Luhut bisa dianggap menyebarkan hoax.
Menurutnya, kasus ini seperti yang menimpa aktivis Ratna Sarumpaet. Ibunda artis cantik Atiqah Hasiholan itu dihukum dua tahun penjara karena kasus menyebarkan informasi bohong tentang kondisi wajahnya.
"Penyebar hoax harus dihukum sebagaimana yang dituduhkan ke Ratna Sarumpaet. Akibat itu Ratna yang belum lama ini meluncurkan buku 'Aku Bukan Politisi', dihukum 2 tahun," kata Muslim.
Hukum menurut Muslim, harus ditegakkan termasuk kepada Luhut. Polisi pun harus bertindak tanpa menunggu laporan karena sudah terjadi kegaduhan di berbagai daerah.
"Karena Ratna Sarumpaet juga dulu tidak dilaporkan dulu, langsung diproses dan ditahan. Penyebaran berita hoax itu pelanggaran UU ITE 11/2008," pungkas Muslim.
Sumber: rmol
Foto: Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan/Net