WANHEARTNEWS.COM - Bagaimana ceritanya seorang Ketua Umum PP Muhammadiyah bisa jadi imam tarawih warga Nadhlatul Ulama (Ulama)?
Apalagi, soal salat tarawih antara kedua organisasi Islam terbesar tanah air itu berbeda. Muhammadiyah biasanya 11 rakaat, sedangkan NU biasanya 23 rakaat.
Ternyata, kisah ini dialami oleh Kiai Abdur Rozaq Fachruddin (1916-1995) atau yang populer dipanggil Pak AR Fachrudin, Ketum Muhammadiyah kharismatik periode 1968-1990.
Dinukil dari situs resmi Muhammadiyah, kisah unik ini pernah terjadi ketika Pak AR, sapaan AR Fachrudin, berada di Ponorogo, Jawa Timur.
Dikisahkan, AR Fachrudin seharusnya mengisi pengajian di Masjid At-Taqwa milik Muhammadiyah. Ternyata, beliau salah alamat dan masuk ke masjid berbeda, yakni datang ke Masjid At-Taqwa yang NU, bukan Muhammmadiyah.
Kebetulan, waktu itu masjid tengah mengadakan pengajian. Di masjid itu, ternyata Pak AR disambut penuh hormat oleh takmir masjid dan warga NU.
Mengetahui sang kiai kharismatik ternyata tiba di masjid itu, warga Muhammadiyah pun menyusul. Uniknya, sang kiai meminta waktu mengikuti acara di masjid NU itu sampai selesai.
Dari sinilah kisah unik bermula.
AR Fahcrudin Jadi Imam Tarawih Masjid NU
Diceritakan, takmir Masjid At-Taqwa bahkan memaksa Pak AR sekalian menjadi imam salat tarawih. Beliau pun segera menyanggupi permintaan tersebut.
Sebelum memimpin salat, Pak AR bertanya kepada jamaah berapa rakaat. Maka, jumlah 23 rakaat sesuai peribadatan NU pun disepakati.
Ketika mengimami salat, ternyata Pak AR mengimami salat tarawih dengan tumakninah, menikmati setiap rukun dan pembacaan ayat-ayat Al-Qur'an secara tartil.
Tentu saja, salat tarawih itu jadi lebih lama dibandingkan salat tarawih biasanya yang dilakukan saat salat tarawih NU, meskipun baru 8 rakaat dari 23 rakaat yang disepakati.
Lantas, setelah mencapai 8 rakaat, Pak AR membalikkan badan dan kembali bertanya kepada jemaah.
“Bagaimana bapak-bapak, diteruskan tarawih atau langsung witir?” Tanya AR Fahcrudin kepada jemaah.
Sontak, semua jemaah NU itu serempak menjawab, “Salat witir mawon (salat witir saja-red),” jawab jemaah sambil tertawa.
Salat itu pun akhirnya dilakukan dalam 11 rakaat, tidak jadi 23 rakaat.
Kisah pertama ini dipopulerkan ulang oleh aktivis Muhammadiyah Nurbani Yusuf pada tahun 2019.
Sebuah kisah unik tentang persahabatan antara warga NU dan Muhammadiyah yang terjalin lama hingga kini. kompas