WANHEARTNEWS.COM - Uraian dari Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo tentang peningkatan utang pemerintah tidak hanya terjadi di era Presiden Joko Widodo, melainkan saat era reformasi hingga pemerintahan SBY disorot sejumlah pihak.
Staf Khusus Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Ossy Dermawan bahkan merasa terpanggil untuk meluruskan informasi yang disampaikan anak buah Menkeu Sri Mulyani Indrawati itu. Sebab, seolah terjadi peningkatan utang besar di era SBY.
"Yang disampaikan mas Yustinus Prastowo untuk melihat peningkatan utang dalam bentuk nominal saja, tentu ini merupakan perbandingan yang “kurang adil”," kata Ossy Dermawan kepada redaksi, Jumat (8/4).
Ossy menilai bahwa nominal utang yang dipaparkan Yustinus, setiap tahunnya akan terpengaruh oleh inflasi. Artinya, utang Rp 1 juta di tahun 2022 tidak dapat diperbandingkan dengan utang Rp 1 juta di tahun 2005. Sebab, daya beli pada tahun tersebut juga pasti berbeda
Untuk menghilangkan efek inflasi, nilai utang harus dinyatakan dalam bentuk relatif. Caranya, dengan membagi besaran utang di tahun tertentu dengan suatu variabel lain di tahun yang sama misalnya GDP. Sehingga, terbentuklah Debt-to-GDP ratio.
Satuan pengukuran utang (debt) adalah rupiah (Rp), satuan pengukuran GDP juga Rp. Sehingga rasio tersebut (Rp dibagi Rp) merupakan indeks yang sudah tidak dipengaruhi inflasi.
Selain tidak dipengaruhi inflasi, rasio tersebut juga mengandung makna bahwa untuk menghasilkan Rp 1 GDP, berapa Rp utang yang digunakan. Debt-to-GDP ratio berhasil diturunkan oleh SBY dari sekitar 56 persen pada tahun 2004 menjadi sekitar 24 persen pada tahun 2014 (selama 10 tahun).
"Kalau sekarang Debt-to-GDP ratio tersebut naik lagi menjadi sekitar 40 persen, silakan rakyat menilainya," urai Ossy Dermawan.
Dengan rasio utang terhadap GDP yang makin dikurangi di era SBY, kata Ossy, itu mengindikasikan relatif kecilnya utang untuk hasilkan GDP. Relatif kecilnya utang, berarti beban fiskal pemerintah untuk bayar bunga dan pokok utang tersebut jadi lebih kecil. Sehingga, besaran fiskal yang tersedia untuk dorong ekonomi jadi lebih besar.
"Itulah sebabnya (di antara beberapa penyebab lain) mengapa laju pertumbuhan ekonomi SBY lebih tinggi dibanding Jokowi," tuturnya.
Karena, proporsi fiskal untuk membangun relatif lebih besar, sehingga hasilnya laju pertumbuhan ekonomi alias GDP growth di masa SBY lebih tinggi dibandingkan saat ini.
"Padahal Menkeunya sama yaitu Bu SMI, lalu mengapa kinerja ekonominya berbeda? Jawabnya, to some extent, leadership matters,” katanya.
Ossy menambahkan, kepemimpinan SBY menyebabkan semua sektor bergerak, tidak hanya 1 atau 2 sektor saja seperti infrastruktur. Resultantenya, struktur perekonomian jadi semakin kokoh.
Sebab menurutnya, jika ada yang menyampaikan bahwa perekonomian kita saat ini menurun karena Covid-19, mungkin ada benarnya. Namun, data menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi RI sebelum pandemi pun sudah memiliki trend yang menurun atau paling tidak stagnan.
"Sebenarnya saya malas membandingkan antar 1 pemimpin dgn pemimpin lainnya. Karena tiap pemimpin pst punya cara membangun negaranya. Tapi menjd pertanggungjawaban moral saya, untuk meluruskan apa yang disampaikan ke publik terkait SBY," pungkasnya.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo sebelumnya mengatakan bahwa utang pemerintah memang mengalami peningkatan secara nominal dari era awal Reformasi, pemerintahan SBY, hingga masa pemerintahan Jokowi.
"Kelihatan sekali penambahan signifikan terjadi saat pandemi. Dari total Rp 4.247 T (Okt 2014-Des 2021), Rp 2.122 T atau 50 persen ditarik 2020-21," katanya dalam akun Twitter pribadinya @prastow pada Kamis (7/4).
Sumber: RMOL