WANHEARTNEWS.COM - Larangan total ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng dinilai justru akan merugikan pemerintah. Sebab penghasilan sawit Indonesia memiliki porsi yang besar.
Begitu kata ekonom senior Dradjad Wibowo kepada wartawan, Kamis (28/4).
"Saya beri contoh tahun 2020 untuk bea keluar (BK) dan pungutan ekspor (PE), jadi ada dua yang dipungut pemerintah. Jatuhnya hampir 25 persen dari seluruh CPO milik RI," urainya
Terlebih, kata Dradjad, saat ini muncul pengenaan tarif pajak, maka penghasilan pemerintah dari sawit bisa di atas 40 persen. Pungutan pajak ini karena perusahaan-perusahaan CPO memiliki kewajiban membayar pajak.
"Bahkan di 2021 dan 2022 kemungkinan dengan harga CPO sekitar Rp 1.400 sampai Rp 1.500 per kilogram, pemerintah menarik penghasilan 33 persen lebih dari BK dan PE,” ujarnya.
Dradjad menuturkan angka riil yang dilaporkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) per Desember 2021 sudah mencapai Rp 70 triliun melalui PE. Sementara total pajak yang dikumpulkan dari perusahaan CPO sekitar Rp 20 triliun per bulan.
"Kalau per tahunnya mungkin Rp 240 triliun, tapi saya tidak pasti tau karena nggak pernah diungkap ke publik data ini,” imbuhnya.
Dradjad mengungkapkan hasil estimasi yang telah dilakukannya, pemerintah kemungkinan memperoleh Rp 250 triliun sampai Rp 300 triliun per tahun (dengan asumsi harga CPO sekarang sebesar 6.000 ringgit Malaysia).
Atas alasan itu, dia menilai pelarangan total ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng bagaikan menembak diri sendiri.
"Ini hanya dugaan kasar saya. Tapi dengan asumsi harga CPO saat ini rasanya agak sulit membayangkan pemerintah melarang ekspor sebab menembak kita sendiri,” demikian Dradjad.
Sumber: rmol